Model - Fahmyli Annor




Pernyataan:
Pembelajaran PAI adalah jantungnya pendidikan di Indonesia dan amat penting dalam mengembangkan kualitas manusia masa mendatang.
Melalui pembelajaran PAI anak didik memahami dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan menjadi warga negara yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, produktif serta kreatif. Sayangnya, pembelajaran masa kini masih belum mampu mengembangkan kualitas manusia Indonesia yang diharapkan berdasarkan tujuan pendidikan nasional. Banyak faktor penghambat yang diidentifikasi para ahli, seperti kompetensi guru, karakteristik kurikulum, sarana dan fasilitas, serta kebijakan lainnya yang tidak mendukung.
Kajian Model Pembelajaran PAI dapat memberikan visi, cara, dan inovasi lainnya dalam mengembangkan proses pembelajaran PAI, berdasarkan pandangan teoritis yang teradapat dalam banyak literatur model dan desain pembelajaran pendidikan Islam. Inilah salah satu manfaat dari kajian model pembelajaran PAI. 
Pertanyaan:
  1. Jelaskan pernyataan di atas!
Jawab:
Pada masa kini, permasalahan pendidikan menjadi tema yang terus dibahas dalam berbagai seminar, diskusi umum, dan pertemuan sejenisnya. Hal ini disebabkan banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan di negeri ini, seperti satu contohnya adalah dalam dunia pergaulan, di mana generasi muda saat ini sangat jauh dari pergaulan yang Islam. Sebagai gambaran, telah diperoleh data survey bahwa sebanyak 54% remaja kota Bogor mengaku pernah berhubungan seks, bahkan ini lebih besar dari kota Jakarta yang tercatat sebanyak 51%, kota Medan sebanyak 52% dan kota Surabaya sebanyak 47% (Kompas, 2006).
Sedangkan, menurut survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tercatat sebanyak 51% remaja se-Jabodetabek melakukan seks di luar nikah. Bahkan, pada penelitian Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak) tahun 2008 terhadap siswa SMP dan SMA yang ada di Indonesia, ternyata diperoleh data yang sangat mencengangkan, yaitu 97% remaja SD mengaku pernah menonton film porno, kemudian 93,7% remaja SMP mengaku pernah berciuman serta happy petting (bercumbu berat), bahkan 62,7% remaja SMP mengaku sudah tidak perawan lagi, dan pada remaja SMA, tercatat sebanyak 21,2% pernah melakukan aborsi, di Indonesia sendiri tercatat sekitar 2,5 juta perempuan setiap tahunnya menjalani aborsi, sebagian besarnya karena diakibatkan pergaulan bebas.
Data di atas merupakan data 10 tahun yang lalu, dan kini jumlah yang bergaul bebas semakin banyak dan parah, bahkan merambah anak-anak SD. Tentunya, bagi para pemerhati pendidikan, masalah ini menjadi buah pikiran bagi mereka, dan tentunya solusi atas permasalahan tersebut terus dicari dan dibahas.
Di tengah pembahasan-pembahasan yang terjadi, muncullah berbagai teori yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan salah satu teori pendidikan yang gencar ditawarkan adalah pendidikan Islam, dan berbagai perangkat yang berlandaskan konsep pendidikan Islam tersebut.
Hal ini dikarenakan, konsep pendidikan Islam yang lebih komprehensif dan lebih utuh dalam memandang pendidikan. Salah satunya adalah konsep pembentukan manusia, yang utuh dan tidak dikotomis, Islam memahami manusia sebagai makhluk yang sempurna dengan dua dimensi yang dimilikinya, dimensi jasmaniah dan dimensi ruhaniah, sehingga dua dimensi inilah yang dikembangkan dalam Islam. Tentunya aspek mendasar adalah aspek ruhaniyah yang dimiliki seorang manusia, dan aspek ini sangat ditentukan oleh akidah yang dimilikinya.
Dalam Islam, perilaku ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, sangat ditentukan oleh seberapa besar akidah (keimanan) yang dimilikinya kepada Tuhannya. Akidah inilah yang menjadi pondasi bagi terbentuknya kesadaran akan kewajiban mentaati hukum-hukum Allah Swt. di segala aspek hidupnya. Akidah Islam merupakan satu-satunya asas, sebagai standar bagi seorang muslim dalam hal keyakinan dan perbuatan, untuk menilai apakah sesuatu dapat diambil atau harus ditinggalkan.[1]
Untuk menanamkan akidah yang kokoh diperlukan adanya proses penanaman akidah dengan konsep yang jelas serta memuaskan akal. Islam telah menjawab semua itu dengan penjelasan perkara akidah yang berdasarkan pada rasionalitas, sehingga mampu memuaskan akal manusia.
Sebagai gambaran, dalam Islam seorang muslim dituntut untuk berpikir mengenai penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan. Firman Allah Swt. dalam Q.S. Ali Imran ayat 191, yang berbunyi:
tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$#
Dalam kitab “Shafwat Al-Tafâsîr” dijelaskan bahwa tafsir ayat di atas yang diterjemahkan oleh penulis adalah “Mereka mengingat Allah dengan lisan dan hati mereka, dalam setiap keadaan. Baik dalam keadaan berdiri, berduduk dan berbaring. Sehingga, mereka tidak lupa kepada Allah dalam setiap waktu. Mereka mengingat Allah agar hati mereka tenang dan tenggelam dalam kebahagiaan dengan mendekatkan diri kepada Allah”[2]
Dan pada firman Allah Swt. dalam Alquran surah Al Baqarah ayat 73, yang berbunyi:
y7Ï9ºxx. Çósムª!$# 4tAöqyJø9$# öNà6ƒÌãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÐÌÈ
Proses keimanan seperti inilah yang mendasari bangkitnya pemikiran seorang hamba. Hal ini telah dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitabnya “Nidzam al-Islam” pada bab yang berjudul “Thariq al-Iman”.[3]
Bukan hanya keimanan di hati, seorang Muslim juga harus meyakini bahwa Islam merupakan agama ritual sekaligus way of life (pedoman hidup) bagi dirinya.
Sebagai pedoman hidup, Islam tidak hanya terkait perkara ibadah-ritual dan akhlak semata, namun juga berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan manusia keseluruhan, seperti ekonomi, hukum, sosial-budaya, politik, pemerintahan serta pertahanan dan keamanan.
Sehingga, dengan konsep ketaatan yang total pada hukum Allah ini diharapkan akan terlahir manusia-manusia yang berkepribadian Islam, yang akhirnya bisa membangun peradaban Islam yang mulia di negeri ini.
Kepribadian Islam menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani adalah akumulasi dari pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (jiwa/nafsiyah) manusia yang berlandaskan Islam, di mana yang menjadi tolak ukurnya adalah hukum syara’, yaitu bersumber dari Alquran dan hadis.[4]
Kesatuan pola pikir dan pola sikap dalam asas Islam inilah yang melahirkan manusia yang sempurna, hal ini didasarkan pada konsep pendidikan dalam Islam yang menjelaskan bahwa pendidikan adalah proses manusia untuk menjadi sempurna yang diridhai oleh Allah Swt.[5]
Pendidikan Islam juga memiliki visi (tujuan) pokok yang sangat mendasar, yaitu:
1.    Membangun kepribadian Islam, pola pikir (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah) bagi umat; yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku Islami ke dalam akal dan jiwa anak didik.
2.    Mempersiapkan anak-anak kaum Muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu ke-Islaman (ijtihad, fiqh, peradilan dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran dan lain-lain). Ulama-ulama yang mumpuni akan membawa sebuah Negara; khususnya negara yang berdasarkan aturan Islam; dan umat Islam -melalui pundak-pundak mereka- untuk menempati posisi puncak di antara bangsa-bangsa dan negara-negara lain.[6]

Terkait akan pemahaman tentang pentingnya pendidikan dalam Islam, Indonesia juga telah merumuskan fungsi Pendidikan Nasional, yaitu pada Bab II pasal 3, yang berbunyi:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[7]

Pada rumusan di atas, khususnya pada kalimat “…agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa…”, dapat dipahami bahwa, pembentukan kepribadian Islami bagi warga negara Indonesia telah menjadi hal yang mendasar bagi terbentuknya manusia yang utuh, yaitu berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.
Untuk melahirkan warga negara yang beriman  dan bertakwa kepada Allah Swt., diperlukan adanya penanaman Islam sejak dini. Di sinilah peran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai salah satu mata pelajaran wajib pada setiap jenjang pendidikan di negeri ini, dari tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
Hal ini telah disebutkan di dalam rumusan Strategi Pembangunan Pendidikan Nasional di dalam UUD Sisdiknas, yang menyebutkan bahwa salah satu dari 13 strategi yang telah dirumuskan adalah “pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia.”[8]
Dengan adanya pendidikan berbasis akidah Islam diharapkan akan lahir manusia yang cerdas, yang mampu memahami potensi dirinya sebagai makhluk Allah (Abdullah) sekaligus Pemimpin (Khalifah), kemudian memahami masyarakat dan bangsanya yang menjadi lahan dakwah dan ladang tempat menebar rahmat, dan menjadi warga negara yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, produktif serta kreatif.
Perlu dipahami, untuk melahirkan masyarakat yang memiliki kepribadian Islam, Indonesia memerlukan sistem pendidikan yang tepat dan benar. Sistem ini harus memiliki landasan yang benar, perencanaan yang matang dan perlu adanya kesungguhan berbagai pihak dalam menjalankannya.
Jadi, kalau hanya konsep yang ditawarkan, tanpa ada sistem yang seirama dengan konsep yang ada, maka cita-cita untuk melahirkan output pendidikan yang berkualitas, dirasakan mustahil untuk dicapai.
Permasalahan pendidikan di negeri ini bukan hanya konsepnya, akan tetapi juga menyangkut masalah sistem pelaksanaannya, yang akhirnya menimbulkan masalah-masalah lain yang dihadapi pendidikan di negeri, seperti permasalahan kompetensi guru yang masih belum terpenuhi standarnya, kemudian karakteristik kurikulum yang tepat bagi pendidikan di negeri ini belum ditemukan (karena berubah-ubah), sarana dan fasilitas yang masih sangat kurang, hal ini terlihat dari banyaknya berita tentang sekolah yang ambruk, sekolah-sekolah yang sulit didatangi dikarenakan sarana jalanan yang rusak atau akses jalan yang tidak ada, gaji guru yang dirasa belum layak, dan masalah lainnya.
Permasalahan-permasalahan tersebut terlihat sangat sulit diatasi langsung oleh pihak guru/pendidikan, dikarenakan perlu adanya kebijakan dari penguasa untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Adapun, bagi pemerhati pendidikan, permasalahan yang beragam tersebut, tidak menyurutkan langkah mereka untuk berusaha memperbaiki dunia pendidikan di negeri ini, salah satunya adalah pembahasan model pembelajaran yang dipakai dalam pembelajaran PAI yang merupakan mata pelajaran pokok dari pembentukan karakter anak didik di negeri ini.
Seorang guru PAI, dituntut lebih cakap dan handal dalam melaksanakan tugasnya mendidik karakter Islami pada peserta didik, dikarenakan ditangan merekalah generasi pemimpin masa depan akan dilahirkan. Tentunya dengan kondisi pendidikan yang dipenuhi beragam masalah seperti saat ini, kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran harus lebih ditingkatkan.
Oleh karena itu, dalam pembelajaran hal penting lainnya adalah metode dan strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru. Bahkan, menurut Syaiful Bahri Djamarah, kemampuan yang dapat dimiliki anak didik dari pembelajaran, sangat ditentukan oleh relevansi penggunaan metode dengan tujuan. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan penggunaan metode yang tepat dan sesuai dengan standar keberhasilan yang terpatri dalam tujuan pembelajaran tersebut.[9]
Bahkan, sebuah adagium mengatakan bahwa “At-Thariqat Ahamm min al-Maddah” (metode jauh lebih penting dibanding materi). Sebuah realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi oleh siswa, walaupun sebenarnya materi yang disampaikan tidak terlalu menarik. Sebaliknya materi yang cukup menarik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu sulit dicerna oleh siswa.
Selain itu, Islam juga mengajarkan dalam memberikan pelajaran hendaklah memilih metode dan strategi yang tepat. Seperti yang terdapat dalam Q.S. An Nahl: 125, yang berbunyi:
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ  
Ayat tersebut menjelaskan bagaimana cara berdakwah (mengajar) yang dianjurkan bagi umat Islam. Cara-cara yang dimaksud adalah dengan hikmah, pelajaran yang baik, serta tatkala membantah orang kita harus membantahnya dengan cara yang baik pula.
Berdasar tafsir Ibnu Abbas dijelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ”bi al-qur’an”, kemudian yang dimaksud pelajaran yang baik adalah ” ‘izhhum bimawâ‘izhi al-qur’an” (berilah mereka nasihat dengan pelajaran-pelajaran yang terdapat dalam Alquran), lalu yang dimaksud dengan bantahlah mereka dengan baik adalah ”bi al-qur’an wa yuqâlu bi laa ilaaha illâ allâh” (dengan Alquran dan ada juga yang mengatakan dengan laa ilaaha illâ allâh).[10]
Dari anjuran tersebut, terlihat bahwa cara dalam berdakwah (mengajar) itu merupakan unsur yang sangat penting dalam menunjang  keberhasilan dakwah/pengajaran. Cara dakwah/mengajar ini sangat terkait dengan keahlian dai/guru dalam meramu cara/teknik mengajar sesuai dengan kondisi dan situasi yang dialami.
Selain teknik mengajar, kajian terhadap model pembelajaran juga menjadi hal penentu dalam keberhasilan pembelajaran. Sekedar dipahami model pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk menggambarkan penyelenggaraan proses belajar mengajar dari awal sampai akhir. Dalam model pembelajaran sudah mencerminkan penerapan suatu pendekatan, metode, teknik atau taktik pembelajaran sekaligus. Dengan pemahaman akan model-model pembelajaran yang beragam, guru akan lebih handal dalam melaksakan proses pembelajarannya.
Oleh karena itulah, salah satu kajian yang dapat meningkatkan kemampuan guru PAI dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran adalah kajian Model Pembelajaran. Adapun manfaat Kajian Model Pembelajaran PAI yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.         Dapat memberikan visi yang jelas dari tugas yang dilaksanakan oleh guru PAI, dikarenakan dari model-model pembelajaran yang dikaji akan diperoleh pemahaman yang utuh tentang anak didik, di mana dalam melihat anak didik, guru akan menggunakan beragam sudut pandang, misalnya dari sudut psikologis, sosiologis, dan tentunya dari pemahaman akidah Islam.
b.         Kajian model pembelajaran akan menambah pengetahuan guru PAI akan cara-cara mengajar yang sesuai dengan perkembangan kecerdasan dan kejiwaan anak, sehingga, guru PAI akan lebih efektif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
c.         Dengan adanya kajian terhadap model pembelajaran, guru PAI akan lebih kreatif dalam mengajar, dikarenakan luasnya wawasan yang diperolehnya dari kajian tersebut.
d.         Guru PAI akan memberikan pengaruh yang lebih besar dalam dunia pendidikan di negeri ini, karena perannya dalam dunia pendidikan akan lebih besar lagi, tentunya dengan peran yang besar dan adanya kedalaman pemahaman agama yang dimilikinya akan mewarnai berbagai komponen pendidikan yang ada di negeri ini, seperti kurikulum pendidikan, dan berbagai kebijakan lainnya.




  1. Model pembelajaran dilandasi oleh pandangan filosofi yang berbeda dalam memandang tentang anak, cara belajar, tujuan pendidikan, guru, serta lingkungan, kemukakan dan jelaskan secara komprehensif rumpun model pembelajaran menurut para ahli!
Jawab:
Model pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk menggambarkan penyelenggaraan proses belajar mengajar dari awal sampai akhir. Dalam model pembelajaran sudah mencerminkan penerapan suatu pendekatan, metode, teknik atau taktik pembelajaran sekaligus. Dengan pemahaman akan model-model pembelajaran yang beragam, guru akan lebih handal dalam melaksanakan proses pembelajarannya.
Adapun terkait pembahasan model pembelajaran secara lebih mendalam, guru yang memahami sebab lahirnya sebuah model pembelajaran, dapat memiliki pandangan yang utuh dari sebuah model. Sehingga dalam praktiknya guru tersebut akan lebih terarah dan tersistematis dalam rangka meraih tujuan yang ingin dicapainya.
Dari sudut pandang (paradigma) yang beraneka ragam dan oleh beberapa ahli atau sisi keilmuan, maka lahirlah beragam model pembelajaran, dan terkumpul dalam 4 (empat) rumpun, yaitu:
  1. Rumpun Model Interaksi Sosial[11]
No
Model
Tokoh
Tujuan
1.
Penentuan Kelompok
Herbert Telen dan John Dewey
Perkembangan keterampilan untuk partisipasi dalam proses sosial demokratis melalui penekanan yang dikombinasikan pada keterampilan-keterampilan antar-pribadi (kelompok) dan keterampilan-keterampilan penentuan akademik. Aspek perkembangan pribadi merupakan hal yang penting dalam model ini.
2.
Inkuiri Sosial
Byron Massialas dan Benjamin Cox
Pemecahan masalah sosial, terutama melalui penemuan sosial dan penalaran logis.
3.
Metode Laboratori
Bethel Maine (National Teaching Library)
Perkembangan keterampilan antarpribadi dan kelompok melalui kesadaran dan keluwesan pribadi.
4.
Jurisprudensial
Donald Oliver dan James P. Shaver
Dirancang terutama untuk mengajarkan kerangka acuan yurisprudensial sebagai cara berpikir dan penyelesaian isu-isu sosial.
5.
Bermain Peran
Fainnie Shatel dan George Fhatel
Dirancang untuk memengaruhi siswa agar menemukan nilai-nilai pribadi dan sosial. Perilaku dan nilai-nilainya diharapkan anak menjadi sumber bagi penemuan berikutnya.
6.
Simulasi Sosial
Sarene Bookock dan Harold Guetzkov
Dirancang untuk membantu siswa mengalami bermacam-macam proses dan kenyataan sosial, dan untuk menguji reaksi mereka, serta untuk memperoleh konsep keterampilan pembuatan keputusann.

  1. Rumpun Model Pemrosesan Informasi[12]
No.
Model
Tokoh
Tujuan
1.
Model Berpikir Induktif (Berorientasi pada Klasifikasi)
Hilda Taba
(Bruce Joyce)
Dirancang untuk pengembangan proses mental induktif dan penalaran akademik/pembentukan teori.
2.
Model Latihan Inkuiri (inquiry training)
Richard Suchman
(Howard Jones)
Pemecahan masalah sosial, terutama melalui penemuan sosial dan penalaran logis.
3.
Inkuiri Ilmiah/
Penelitian Ilmiah  (scientific inquiry)
Joseph. J. Schwab
Dirancang untuk mengajar sistem penelitian dari suatu disiplin, tetapi juga diharapkan untuk mempunyai efek dalam kawasan-kawasan lain (metode-metode sosial mungkin diajarkan dalam upaya meningkatkan pemahaman sosial dan pemecahan masalah sosial).
4.
Penemuan Konsep
Jerome Bruner
(Fred Lightfall)
(Tennyson dan Corchiarella)
(Bruce Joyce)
Dirancang terutama untuk mengembangkan penalaran induktif, juga untuk perkembangan dan analisis konsep.
5.
Pertumbuhan Kognitif
Jean Piaget
Irving Sigel
Edmund Sullvan
Lawrence Kohlberg
Dirancang untuk memengaruhi siswa agar menemukan nilai-nilai pribadi dan sosial. Perilaku dan nilai-nilainya diharapkan anak menjadi sumber bagi penemuan berikutnya.
6.
Model Penata Lanjutan
David Ausubel
Dirancang untuk meningkatkan efisiensi kemampuan pemrosesan informasi untuk menyerap dan mengaitkan bidang-bidang pengetahuan.
7.
Memori
Harry Lorayne
Jerry Lucas
Dirancang untuk meningkatkan kemampuan mengingat.
8.
Induktif Kata-Gambar
Emily Calhoun

9.
Mnemonik
(Bantuan-bantuan Memori)
Michael Pressley
Joe Levin
Richard Anderson

10.
Sinektik
William Gordon

11.
Advance Organizer[13]
David Ausubel
(Lawton dan Wanska)


  1. Rumpun Model Personal[14]
No.
Model
Tokoh
Tujuan
1.
Pengajaran non-Direktif
Cari Rogers
Penekanan pada pembentukan kemampuan untuk perkembangan pribadi dalam arti kesadaran diri, pemahaman diri, kemandirian, dan konsep diri.
2.
Latihan Kesadaran
Fritz Perls
Willian Schultz
Meningkatkan kemampuan seseorang untuk eksplorasi diri dan kesadaran diri. Banyak menekankan pada perkembangan kesadaran dan pemahaman antarpribadi.
3.
Sinektik
William Gordon
Perkembangan pribadi dalam kreativitas dan pemecahan masalah kreatif.
4.
Sistem-sistem Konseptual
David Hunt
Dirancang untuk meningkatkan kekompleksan dan keluwesan pribadi.
5.
Pertemuan Kelas
William Glasser
Perkembangan pemahaman diri dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan kelompok sosial.



  1. Rumpun Model Modifikasi Tingkah Laku (Behavioral)[15]
No.
Model
Tokoh
Tujuan
1.
Manajemen Kontingensi
B. F. Skinner
Fakta-fakta, konsep, keterampilan
2.
Kontrol Diri
B. F. Skinner
Perilaku/keterampilan sosial
3.
Relaksasi (santai)
Rimn dan Master Wolpe
Tujuan-tujuan pribadi (mengurangi ketegangan dan kecemasan)
4.
Pengurangan Ketegangan
Rimn dan Master Wolpe
Mengalihkan kesantaian kepada kecemasan dalam situasi sosial
5.
Latihan Asertif Desensitasi
Wolpe, Lazarus, Salter
Ekspresi perasaan secara langsung dan spontan dalam situasi sosial.
6.
Latihan Langsung
Gagne, Smith dan Smith
Pola-pola perilaku, keterampilan.

Selanjutnya saya akan menjelaskan sebab proses lahirnya sebuah model pembelajaran. Model pembelajaran terlahir dari adanya sudut pandang (paradigma) seseorang/ahli terhadap beberapa komponen berikut ini:
1)   Anak
2)   Tujuan Pendidikan
3)   Cara Belajar
4)   Guru
5)   Lingkungan
Sebagai sebuah contoh, adalah pada rumpun model pembelajaran pemrosesan informasi (information-processing models). Model lebih menekankan  pada cara-cara meningkatkan dorongan alamiah manusia untuk membentuk makna tentang dunia (sense of the world). Hal ini terwujud dengan memperoleh dan mengolah data, merasakan masalah-masalah dan menghasilkan solusi-solusi yang tepat, serta mengembangkan konsep dan bahasa untuk mentransfer solusi/data tersebut.
Beberapa model dalam kelompok ini menyediakan informasi dan konsep pada para pembelajar, beberapa lagi menekankan susunan konsep dan pengujian hipotesis, dan beberapa yang lain merancang cara berpikir kreatif. Hanya sedikit model dalam kelompok ini yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan intelektual pada umumnya. Banyak model-model memproses informasi berguna untuk mengamati diri sendiri dan masyarakat, dan karenanya dapat kita terapkan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan sosial dalam pendidikan.[16]
Terkait konsep di atas, pada hakikatnya setiap individu (manusia) adalah makhluk pembelajar dalam setiap konteks perkembangan budaya tertentu. Apabila semua guru memahami konsep ini, akan muncul sebuah paradigma yang menimbulkan persepsi bahwa para siswa di dalam kelas adalah para makhluk yang sebenarnya “siap” untuk belajar.[17] Dengan demikian, pemrosesan informasi adalah hal mendasar yang ada pada diri manusia sebagai makhluk yang berakal.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa rumpun ini memiliki sudut pandang yang khas terhadap komponen pendidikan, berikut ini pemaparannya:
1)   Anak dipandang adalah makhluk yang ”siap” belajar, karena anak sudah memiliki potensi akal sejak awal, dan akal inilah yang menjadi bagian dasar dari komponen berpikir. Kemudian, anak didik tidaklah kosong sama sekali (akalnya), namun sudah memiliki berbagai pengetahuan sebelumnya, yang nantinya dapat dijadikan bahan untuk menghasilkan pengetahuan lainnya.
2)   Tujuan Pendidikan, melahirkan anak didik yang mampu menggunakan akalnya dengan maksimal, mampu berpikir benar, mendalam, dan kreatif, mampu memahami makna dunia (sense of the world).
3)   Cara Belajarnya adalah dengan menghubungan pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang baru, sehingga lahirlah sebuah pemahaman yang baru terhadap fakta yang baru. Selain itu cara belajarnya dengan mengamati diri sendiri dan masyarakat, dan karenanya model ini dapat diterapkan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan sosial dalam pendidikan.
4)   Guru adalah fasilitator dan mediator, sekaligus pembimbing anak didik untuk menggunakan fungsi akalnya dengan semaksimal mungkin, dan menjadi motivator bagi anak didik dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kreatif anak didik.
5)   Lingkungan adalah pengetahuan-pengetahuan yang akan mempengaruhi sudut pandang siswa terhadap sesuatu fakta yang baru ditemukannya, sehingga dalam model ini, lingkungan yang baik akan menghasilkan anak didik yang baik, sebaliknya lingkungan yang buruk akan menghasilkan anak didik yang buruk pula. Hal ini dikarenakan, dari lingkunganlah anak didik mendapatkan pengetahuan sebelumnya, yang mana pengetahuan sebelumnya ini menjadi bahan baku lahirnya pengetahuan yang baru, dengan kata lain, bahan baku yang baik tentu akan menghasilkan produk yang baik, sebaliknya, bahan baku yang jelek, akan menghasilkan produk yang jelek pula.
Berikut ini adalah salah satu contoh model pembelajaran rumpun pemrosesan informasi beserta aplikasinya dalam pembelajaran:

Model Pembelajaran Berpikir Induktif (Inductive Thinking)
Keterampilan berpikir yang mendasar adalah kemampuan dalam menganalisis informasi dan membuat konsep – berpikir induktif (Inductive Thinking). Model yang dihadirkan di sini merupakan penyesuaian dari kajian Hilda Taba (1966). Model ini berdasar pada peneliti yang telah mengkaji bagaimana mengajari siswa dalam mencari dan mengolah informasi, membuat dan menguji hipotesis yang menggambarkan hubungan antardata.
Model tersebut telah digunakan dalam berbagai[18] bidang kurikulum dan telah diterapkan pula pada siswa di seluruh tingkatan umur, jadi tidak terbatas pada bidang ilmu pengetahuan saja. Analisis fonetik (ling) dan struktural merupakan salah satu cara kerja dalam model ini, tergantung pada pembelajaran konsep, seperti aturan-aturan gramatikal. Misalnya, struktur bidang kesusastraan tergantung pada klasifikasi. Lalu, kajian masyarakat, negara, dan sejarah mensyaratkan adanya pembelajaran konsep.
Kendatipun pembelajaran konsep tidak terlalu penting dalam perkembangan pemikiran, pengolahan informasi sangat fundamental pada bidang-bidang kurikulum yang mengutamakan model berpikir induktif bagi materi pembelajaran dan pengajaran sekolah. Hal ini hanya mungkin diwujudkan jika pembelajaran tentang konsep-konsep dapat diterapkan dengan baik.[19]
Secara singkat model ini merupakan strategi mengajar untuk mengembangkan keterampilan berpikir siswa. Model ini dikembangkan atas dasar beberapa postulat (dalil) sebagai berikut:

1)        Kemampuan berpikir dapat diajarkan.
2)        Berpikir merupakan suatu transaksi aktif antara individu dengan data. Artinya, dalam setting kelas, bahan ajar merupakan sarana bagi siswa untuk mengembangkan operasi kognitif tertentu. Dalam kondisi  tersebut siswa belajar mengorganisasikan fakta ke dalam suatu sistem konsep, yaitu (a) menghubung-hubungkan data yang diperoleh satu sama lain serta membuat kesimpulan berdasarkan hubungan-hubungan tersebut, (b) menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahuinya dalam rangka membangun hipotesis, dan (c) memprediksi dan menjelaskan suatu fenomena tertentu. Guru, dalam hal ini dapat membantu proses internalisasi dan konseptualisasi berdasarkan informasi tersebut.
3)        Proses berpikir merupakan suatu urutan dengan tahapan yang beraturan (lawful). Artinya, agar dapat menguasai keterampilan berpikir tertentu, prasyarat tertentu harus dikuasai terlebih dahulu, dan urutan tahapan ini tidak bisa dibalik. Oleh karena itu, konsep tahapan beraturan ini memerlukan strategi mengajar tertentu agar dapat dapat mengendalikan tahapan-tahapan tersebut.
Berikut ini adalah prosedur pembelajaran dan aplikasi model pembelajaran berpikir induktif (inductive thinking) yang penulis kutip langsung dari buku karangan Hamzah B. Uno:
1)   Prosedur Pembelajaran
Postulat yang diajukan Taba di atas menyatakan bahwa keterampilan berpikir harus diajarkan dengan menggunakan strategi khusus. Menurutnya, berpikir induktif melibatkan tiga tahapan dan karenanya ia mengembangkan tiga strategi cara mengajarkannya. Strategi pertama adalah pembentukan konsep (concept formation) sebagai strategi dasar; kedua, interpretasi data (data interpretation) dan ketiga adalah penerapan prinsip (aplication of principles).[20]
Strategi 1: Pembentukan Konsep
Tahapan pertama dalam strategi pembentukan konsep ini terdiri dari tiga langkah, yaitu:
a)        Mengidentifikasi data yang relevan dengan permasalahan,
b)        Mengelompokkan data atas dasar kesamaan karakteristik, dan
c)        Membuat kategori serta memberi label pada kelompok-kelompok data yang memiliki kesamaan karakteristik.
Strategi 2: Interpretasi Data
Strategi kedua ini merupakan cara mengajarkan bagaiman menginterpretasi dan menyimpulkan data. Sama halnya dengan strategi pertama (pembentukan konsep), cara ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu.
Sebagai langkah pertama, guru dapat mengajukan pertanyaan yang dapat mendorong siswa agar dapat mengidentifikasi aspek-aspek tertentu dari suatu data. Sebagai contoh, setelah siswa membaca bahasan tentang sistem ekonomi Afrika Selatan, Inggris, dan Jerman, guru mengajukan pertanyaan, ”Aspek-aspek apa saja yang menjadi tulang punggung sistem ekonomi ketiga negara tersebut?”
Berikutnya guru meminta siswa untuk menjelaskan berbagai informasi yang diperolehnya dan menghubungkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pertanyaan yang diajukan kali ini menekankan pada pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan sebab akibat. Sebagai contoh, ”Apakah menurut kalian sistem ekonomi ketiga negara tersebut sama atau berbeda? Mengapa?” atau ”Apakah sistem ekonomi ketiga negara tersebut didasarkan atas hal yang sama? Jika ya, apa yang membuat sistem ekonomi antara ketiga negara tersebut sama dan apa yang membuatnya berbeda?”.
Langkah ketiga adalah membuat kesimpulan. Pada bagian ini, guru dapat mengajukan pertanyaan ”Jika demikian, aspek apa saja yang dapat menjadi dasar sistem ekonomi suatu negara?”.
Strategi 3: Pembelajaran Prinsip
Strategi ketiga merupakan kelanjutan dari strategi pertama dan kedua. Setelah siswa dapat merumuskan suatu konsep, menginterpretasikan, dan menyimpulkan data, selanjutnya mereka diharapkan dapat menerapkan suatu prinsip tertentu ke dalam situasi permasalahan yang berbeda. Atau siswa diharapkan dapat menerapkan suatu prinsip untuk menjelaskan suatu fenomena baru.
Langkah pertama yang harus diajukan guru adalah mengajukan suatu[21]permasalahan baru. Pada bagian ini guru dapat mengajukan pertanyaan, ”Apa yang akan terjadi jika Pak Dudung tidak memiliki seperangkat komputer di meja kasir toko swalayannya?” Langkah berikutnya adalah meminta siswa untuk menjelaskan prediksi atau hipotesisnya. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah, ”Menurut Anda mengapa hal tersebut dapat terjadi?” Langkah terakhir adalah meminta siswa untuk menjelaskan dasar teori/argumen yang memperkuat hipotesisnya. Pada bagian ini, siswa diminta menggunakan logika dengan memanfaatkan data dan informasi pendukung yang cukup dan akurat. Untuk  kebutuhan ini, pertanyaan yang dapat diajukan guru adalah, ”Apa alasan yang dapat memperkuat hal tersebut terjadi?”.
2)   Aplikasi
Model pembelajaran ini ditujukan untuk membangun mental kognitif. Karenanya sangat sesuai untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Namun demikian, strategi ini sangat membutuhkan banyak informasi yang harus digali oleh siswa. Kelebihan lain dari model ini, selain sangat sesuai untuk social study, juga dapat digunakan untuk semua mata pelajaran, seperti sains, bahasa, dan lain-lain. Satu hal lagi yang tidak kalah penting, model ini juga secara tidak langsung dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif.[22]




  1. Landasan filosofi, psikologis dan sosiologis memiliki implikasi terhadap pengembangan teori pendidikan dan selanjutnya juga berimplikasi pada pengembangan teori belajar dan model pembelajaran, jelaskan maksudnya, kemukakan contohnya!
Jawab:
Sebagaimana penjelasan saya tentang sebab proses lahirnya sebuah model pembelajaran. Di mana model pembelajaran terlahir dari adanya pengaruh sudut pandang (paradigma) seseorang/ahli terhadap beberapa komponen, yaitu: (1) Anak, (2) Tujuan Pendidikan, (3) Cara Belajar, (4) Guru, dan (5) Lingkungan.
Adapun sudut pandang yang melandasinya bisa berasal dari pandangan filosofi, psikologis dan sosiologis yang berkembang di tengah dunia pendidikan. Ada beragam pandangan filosofis, psikologis dan sosiologis yang mempengaruhi model-model pembelajaran tersebut. Akhirnya, model-model pembelajaran pun memiliki corak dan ciri khas yang beragam pula.
Sama dengan model pembelajaran yang dipengaruhi oleh berbagai pandangan, teori pembelajaran juga demikian. Padahal, model pembelajaran dipengaruhi oleh teori pembelajaran. Dengan demikian, pandangan yang digunakan dalam melahirkan teori pembelajaran, akan berpengaruh juga terhadap model pembelajarannya.
Sebagai contohnya adalah pandangan dari sudut pandang psikologis berikut ini:
Dalam pandangan psikologis yang dikemukakan oleh Piaget, tahap-tahap perkembangan manusia adalah sebagai berikut:
1.     Tahap Sensorimotor (pada Saat Lahir hingga Usia 2 Tahun), selama tahap ini, bayi dan anak kecil menjajaki dunia mereka dengan menggunakan indera mereka dan kemampuan motor mereka.
2.     Tahap Praoperasional (Usia 2 hingga 7 Tahun), anak prasekolah ini mampu memikirkan segala sesuatu dan dapat menggunakan simbol untuk melambangkan objek dalam pikirannya. Selama tahap ini, bahasa dan konsep anak-anak berkembang dengan kecepatan luar biasa.
3.     Tahap Operasional Konkret (Usia 7 hingga 11), anak-anak pada tahap ini dapat membentuk konsep, melihat hubungan, dan memecahkan masalah, tetapi hanya sejauh mereka melibatkan objek dan situasi yang sudah dikenal.
4.     Tahap Operasional Formal (Usia 11 hingga Dewasa)[23], pada tahap ini manusia sanggup berpikir abstrak dan melihat kemungkinan-kemungkinan melampaui di sini dan sekarang.
Dengan adanya pandangan-pandangan di atas, maka teori Piaget ini berimplikasi Terhadap Pendidikan, yaitu:
1.     Fokus pada proses pemikiran anak-anak, bukan hanya hasilnya. Selain memeriksa ketepatan jawaban anak-anak, guru harus memahami proses yang digunakan anak-anak untuk sampai pada jawaban tersebut
2.     Pengakuan terhadap peran penting perkembangan aktif yang dimulai oleh anak sendiri dalam kegiatan pembelajaran.
3.     Tidak menekankan praktik yang ditujukan untuk menjadikan anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikiran mereka.
4.     Penerimaan perbedaan masing-masing orang dalam kemajuan perkembangan. Teori Piaget beranggapan bahwa semua anak mengalami urutan perkembangan yang sama tetapi dengan kecepatan yang berbeda.[24]
Dengan adanya pandangan di atas, akhirnya melahirkan model pembelajaran yang disebut model ”Pertumbuhan Kognitif”, di mana model ini merupakan bagian dari rumpun model pemrosesan informasi. Kemudian, model ini dirancang untuk memengaruhi siswa agar menemukan nilai-nilai pribadi dan sosial. Perilaku dan nilai-nilainya diharapkan anak menjadi sumber bagi penemuan berikutnya.
Dalam praktiknya anak didik, diajarkan berdasarkan perkembangan psikologisnya dan perkembangan kognitifnya, sehingga pembelajaran pada anak di sekolah dasar berbeda dengan pembelajaran yang ada di sekolah atas. Tentunya hal ini mempengaruhi seluruh komponen pembelajaran lainnya, dikarenakan semua komponen harus sejalan dan serasi berdasarkan sudut pandang yang digunakan.

  1. Berdasarkan kajian terhadap model-model pembelajaran, menurut Anda model apa yang tepat dalam mengembangkan pembelajaran PAI pada madrasah di Indonesia!
Jawab:
Sekedar diketahui model-model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.   Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.
b.   Mempunyai misi dan tujuan pendidikan tertentu.
c.   Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas.
d.   Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (a) urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax); (b) adanya prinsip-prinsip reaksi; (c) sistem sosial; dan (d) sistem pendukung.
e.   Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran.
f.    Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.
Dari ciri-ciri di atas, dapat dipahami bahwa model sangat bergantung dengan kondisi yang dialami oleh madrasah tersebut diwaktu berlangsung pendidikan di sana. Jadi, Saya berpendapat bahwa model yang tepat untuk digunakan di Madrasah yang ada di Indonesia adalah tergantung dari keadaan terbaru yang mempengaruhi komponen pendidikan yang ada. Keadaan yang mempengaruhi bisa berupa keadaan siswa, tujuan yang ingin diraih, keadaan lingkungan dan sebagainya.
Sebagai contoh, pada pembelajaran akidah dan akhlak, model yang cocok digunakan pada siswa kelas atas (SMA) adalah model instruksional. Model ini terdiri atas empat komponen yang secara hakiki berbeda satu sama lain. Model tersebut menitikberatkan pembuatan keputusan intelektual oleh guru sebelum dan sesudah pengajaran dan oleh karenanya, sebenarnya lebih berupa suatu model perencanaan dan penilaian daripada suatu model ”prosedur mengajar”. Pertama menentukan tujuan-tujuan instruksional secara spesifik dalam bentuk perilaku siswa. Kedua, mengadakan penilaian-pendahuluan terhadap keadaan siswa pada saat ini dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan instruksional tersebut. Dan ketiga, menilai pencapaian tujuan-tujuan tersebut oleh siswa. Komponen-komponen untama dari model instuksional dapat dilihat pada bagan di bawah ini.


 



Bagan 1. Model Instruksional yang Beracuan Tujuan[25]
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat beberapa alasan yang menyebabkan dipilihnya model instruksional ini dalam pembelajaran akidah akhlak, alasannya adalah:
1)   Akidah akhlak merupakan materi pemahaman yang membutuhkan pemikiran yang mendalam dalam memahaminya, terlebih lagi pada tingkatan SMA, materi akidah bisa menjadi kajian kritis bagi mereka. Sehingga, dalam pembelajarannya perlu bimbingan dan arahan dari guru dalam memahaminya.
2)   Siswa kelas atas (SMA) merupakan siswa yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi, sehingga ketika diperintahkan menyelesaikan tugas, lebih mudah untuk melaksanakannya, dikarenakan kemampuan belajarnya yang sudah bagus.
3)   Akidah akhlak merupakan materi pemikiran dan pemahaman yang harus terarah, oleh karena itulah tujuan instruksional menjadi hal penting yang harus ditetapkan di awal pembelajaran. Hal ini disebabkan pentingnya sistematika pembahasan dan terarahnya pembelajaran dalam materi akidah akhlak, agar materi pokok bisa disampaikan sepenuhnya.

  1. Coba Anda kemukakan perbedaan model kooperatif, integrated, berbasis masalah, dan inquiri!
Jawab:
Ø Dari konsep dasarnya:
a.        Model Kooperatif, didasari oleh teori konstuktivisme. Pada teori ini anak didik secara individual menemukan dan mentransformasikan informasi uang kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu. Kemudian, dalam paham konstruktivisme ini interaksi antara anak didik dengan guru, anak didik dengan anak didik dan guru dengan anak didik harus seimbang. Oleh karena itulah, agar adanya interaksi yang seimbang, di dalam pembelajarannya ditekankan pembentukan kelompok belajar.
Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
b.        Model Integrated (terpadu), merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Dengan adanya pemaduan itu, siswa akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh, sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Bermakna disini memberikan arti bahwa pada pembelajaran terpadu siswa akan dapat memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan antar konsep dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Pembelajaran terpadu tipe integrated (keterpaduan) adalah tipe pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan antar bidang studi, menggabungkan bidang studi dengan cara menetapkan prioritas kurikuler dan menemukan keterampilan, konsep dan sikap yang saling tumpang tindih dalam beberapa bidang studi (Fogarty, 1991: 76).[26]
c.        Model Berbasis Masalah, menurut Ivor Davis (2000), “salah satu kecenderungan yang sering dilupakan adalaha melupakan bahwa hakikat pembelajaran adalah belajarnya siswa dan bukan mengajarnya guru”. Model ini lahir dipengaruhi oleh perkembangan zaman di abad 21 ini, di abad modern ini, anak didik dituntut untuk lebih dewasa dalam menghadapi masa depan. Pendidikan harus membantu perkembangan terciptanya individu yang kritis dengan tingkat kreatifitas yang sangat tinggi dan tingkat keterampilan  berpikir yang lebih tinggi pula.
d.        Model Inquiri, memandang bahwa manusia adalah makhluk berakal yang mampu memahami masalah dan menemukan solusi atas masalah tersebut. Manusia selalu memikirkan solusi dari berbagai masalah yang dihadapinya. Kemudian, menurut Sofa (2008) pendekatan inquiry adalah pendekatan mengajar di mana anak didik merumuskan masalah, mendesain eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data sampai mengambil keputusan sendiri. Pada tahapan discovery, anak didik memiliki perkembangan mental seperti, mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, men-jelaskan, dan mengambil kesimpulan. Sedangkan, keterampilan mental yang dituntut dalam model inquiry ini lebih tinggi dari discovery antara lain: merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan mengambil kesimpulan. Dengan adanya perkembangan mental seperti ini, maka manusia akan selalu berkembang dari masa ke masa, dan manusia akan terus menjalani kehidupan ini dengan cara baru yang lebih kreatif dan inovatif.

Ø Karakteristik model pembelajarannya:
a.       Model Kooperatif, proses pembelajarannya lebih menekankan pada proses kerja sama dalam kelompok. Ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah: (1) pembelajaran secara tim, (2) didasarkan pada manajemen kooperatif, (3) kemauan untuk bekerja sama, dan (4) keterampilan bekerja sama,.
b.         Model Integrated, Karakteristik Model Integrated Model pembelajaran terpadu ini menggunakan pendekatan antar mata pelajaran. Model ini diusahakan dengan cara menggabungkan beberapa mata pelajaran yaitu dengan menetapkan prioritas dari kurikulum dan menemukan keterampilan, konsep dan sikap yang saling tumpang tindih di dalam beberapa mata pelajaran. Model pembelajaran integrated (terpadu) mempunyai ciri khusus yakni memadukan sejumlah topik dari mata pelajaran yang berbeda tetapi inti topiknya sama. Pada model ini tema yang berkaitan dan tumpang tindih merupakan hal terakhir yang ingin dicari dan dipilih oleh guru dalam tahap perencanaan program. Pertama kali guru menyeleksi konsep-konsep, keterampilan dan sikap yang diajarkan dalam satu semester dari beberapa bidang studi, selanjutnya dipilih beberapa konsep, keterampilan, dan sikap yang memiliki keterhubungan yang erat dan tumpang tindih di antara berbagai bidang studi. Pada model ini terdapat team teching yang berasal dari beberapa mata pelajaran  berbeda namun memiliki tema yang tumpang tindih(overlap). Dalam tahap ini, guru yang tergabung haruslah kompak serta memiliki skill yang tinggi. Tahap ini juga dapat membangun rasa percaya diri dan kepercayaan sebagai perancang model(Forgaty 1991:78)
c.        Model Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah suatu proses pembelajaran yang diawali dari masalah-masalah yang ditemukan dalam suatu lingkungan pekerjaan. Problem Based Learning (PBL) adalah lingkungan belajar yang di dalamnya menggunakan masalah untuk belajar. Yaitu, sebelum pebelajar mempelajari suatu hal, mereka diharuskan mengidentifikasi suatu masalah, baik yang dihadapi secara nyata maupun telaah kasus. Masalah diajukan sedemikian rupa sehingga para pebelajar menemukan kebutuhan belajar yang diperlukan agar mereka dapat memecahkan masalah tersebut. PBL juga ada yang menerapkan sebagai sebuah metode pendidikan.
Problem Based Learning adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata dan lalu dari masalah ini anak didik dirangsang untuk mempelajari masalah ini berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan PBL.
Adapun karakteristik pembelajaran berbasis masalah ini adalah sebagai berikut:
1)        Permasalahan menjadi starting point dalam belajar.
2)        Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur.
3)        Permasalahan yang membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective).
4)        Permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh anak didik, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar.
5)        Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama.
6)        Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBM.
7)        Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan.
8)        Keterbukaan proses dalam PBM meliputi sistesis dan integrasi dari sebuah proses belajar.
9)        PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar.[27]
d.     Model Inquiri, menurut Sofa (2008) pendekatan inquiry adalah pendekatan mengajar di mana siswa merumuskan masalah, mendesain eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data sampai mengambil keputusan sendiri. Sedangkan Pendekatan discovery merupakan pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental, seperti mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, men-jelaskan, dan mengambil kesimpulan.
Pada kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah dan siswa disuruh memecahkan masalah melalui percobaan. Pada pendekatan inquiry, siswa mengajukan masalah sendiri sesuai dengan pengarahan guru. Keterampilan mental yang dituntut lebih tinggi dari discovery antara lain: merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan mengambil kesimpulan.

Ø Dari prinsip-prinsip pembelajarannya:
a.        Model Kooperatif, menurut Roger dan David Johnson (Lie, 2008) ada lima unsur model kooperatif, yaitu: (1) prinsip ketergantungan positif, (2) tanggung jawab perseorangan, (3) interaksi tatap muka, (4) partisipasi dan komunikasi, dan (5) evaluasi proses kelompok.
b.        Model Integrated, Model pembelajaran integrated (terpadu) mempunyai ciri khusus yakni memadukan sejumlah topik dari mata pelajaran yang berbeda tetapi inti topiknya sama. Dengan harapan anak didik akan memiliki kemampuan yang utuh terhadap suatu permasahan, hal ini disebabkan adanya kajian yang lengkap dengan berbagai sudut pandang terhadap permasalahan tersebut.
c.        Model Berbasis Masalah, prinsipnya adalah:
1)   Kebutuhan siswa untuk menyelesaikan masalah autentik, masalah open-ended dengan banyaknya jawaban yang benar.
2)   Masalah autentik berasal dari ilmuwan, doktor, insinyur, ahli hukum, pendidik, administrator, dan konselor.
3)   Penekanan pada pengetahuan awal siswa, “dimulai dengan apa yang siswa ketahui”.
4)   Siswa secara aktif berpartisipasi dalam merencanakan, mengorganisasi, dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
5)   Hubungan interdisiplin sangat kuat
6)  Siswa bermain peran secara autentik 
d.        Model Inquiri, adalah proses yang penting dalam pembelajaran agar retensinya kuat dan munculnya kepuasan tersendiri dalam benak siswa dibandingkan hanya melalui pewarisan. Dengan menemukan kemampuan berpikir mandiri (kognitif tingkat tinggi, kritis, kreatif, inovatif, dan improvisasi) akan terlatih yang pada kondisi selanjutnya menjadi terbiasa. Inkuiri mempunyai siklus observasi, bertanya, menduga, kolekting, dan konklusi.
Menurut Tabrani (1992 dalam Turisina, 2006), bahwa syarat utama metode penemuan ada pada potensi yang dimiliki oleh siswa itu sendiri. Potensi itu
meliputi: kemandirian siswa dalam data, keaktifan dalam memecahkan
masalah, kepercayaan pada diri sendiri. Menurut Sofa (2008) bahwa Pendekatan inquiry harus memenuhi empat kriteria ialah (1) kejelasan, (2) kesesuaian, (3) ketepatan dan (4) kerumitannya.
Ø Dari prosedur-prosedur pembelajarannya:
a.        Model Kooperatif, pada prinsipnya ada 4 (empat) tahap, yaitu: (1) penjelasan materi, (2) belajar kelompok, (3) penilaian, dan (4) pengakuan tim.
b.        Model Integrated, Langkah – langkah pembelajaran Integrated Pada tahap awal guru hendaknya membentuk tim antar bidang studi untuk menyeleksi konsep-konsep, keterampilan-keterarnpilan, dan sikap-sikap yang akan dibelajarkan dalam satu semester tertentu untuk beberapa bidang studi, Langkah berikutnya dipilih beberapa konsep, keterampilan, dan sikap yang mernpunyai keterhubungan yang erat dan tumpang tindih di antara beberapa bidang studi. Bidang studi yang diintegrasikan misal matematika seni dan bahasa, dan pelajaran sosial. Fokus pengintegrasian pada sejumlah keterampilan belajar yang ingin dilatihkan oleh seorang guru kepada siswanya dalam suatu unit pembelajaran untuk ketercapaian materi pelajaran (content). Keterampilan-keterampilan belajar itu menurut Fogarty (1991: 77), meliputi keterampilan berpikir (thinking skill), keterampilan sosial (social skill), dan keterampilan mengorganisir (organizing skill). Selanjutnya adalah langkah-langkah dalam model Integrated, langkah guru merancang program rencana pembelajaran dengan mengadakan penjajakan tema dengan cara curah pendapat (brain stroming). Tahap pelaksanaan melakukan kegiatan: Proses pengumpulan informasi Pengelolaan informasi dengan cara analisis komparasi dan sintesis Penyusunan laporan dapat dilakukan dengan cara verbal, gravisi, pictorial, audio, gerak, dan model Tahap kulmunasi dilakukan dengan: Penyajian laporan (tertulis, oral, unjuk kerja, produk).
c.        Model Berbasis Masalah, langkah-langkahnya adalah:
1)   Siswa dibagi dalam kelompok
2)   Masalah nyata dipresentasikan dan dikiskusikan
3)   Siswa mengidentifikasi apa yang diketahui, informasi apa yang dibutuhkan, strategi apa atau langkah berikutnya untuk diambil
4)   Individu meneliti hal yang berbeda dengan sumber yang sama
5)   Sumber masalah dievaluasi dalam kelompok
6)   Siklus berulang terus menerus sampai siswa merasakan bahwa masalah telah disampaikan dengan cukup dan semua masalah telah disampaikan.
7)   Kemungkinan tindakan, rekomendasi, solusi, atau hipotesis dibangun.
8)   Tutor kelompok atau teman sebaya.
Adapun menurut Deodiknas
dalam “akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2009/04/16_pengembangan-model-pembelajaran-ctl-smp-2006.ppt” bahwa Sintaks Model Pembelajaran PBL/PBI adalah:
Fase-Fase
Prilaku Guru
Fase I
Orientasi siswa pada masalah
Fase II
Mengorganisasi siswa untuk belajar
Fase III
Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
Fase IV
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Fase V
Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
  Menjelaskan tujuan, logistik yang dibutuhkan
  Memotivasi siswa terlibat aktif pemecahan masalah yang dipilih
  Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhub dengan Masalah tersebut
  Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
  Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan berbagi tugas dengan teman
  Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yg tlh dipelajari /meminta kelompok presentasi hasil kerja

d.        Model Inquiri, ini merupakan proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, dan siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis. Adapun fase-fasenya berdasarkan Sofa (2007) adalah:
Setelah guru mengundang siswa untuk mengajukan masalah yang erat hubungannya dengan pokok bahasan yang akan diajarkan, siswa akan terlibat dalam kegiatan inquiry dengan melalui 5 fase ialah:
Fase 1 :      Siswa menghadapi masalah yang dianggap oleh siswa memberikan tantangan untuk diteliti.
Fase 2:       Siswa melakukan pengumpulan data untuk menguji kondisi, sifat khusus dari objek teliti dan pengujian terhadap situasi masalah yang dihadapi.
Fase 3:       Siswa mengumpulkan data untuk memisahkan variabel yang relevan, berhipotesis dan bereksperimen untuk menguji hipotesis sehingga diperoleh hubungan sebab akibat.
Fase 4:       Merumuskan penemuan inquiry hingga diperoleh penjelasan, pernyataan, atau prinsip yang lebih formal.
Fase 5:       Melakukan analisis terhadap proses inquiry, strategi yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Analisis diperlukan untuk membantu siswa terarah pada mencari sebab akibat.

  1. Berdasarkan telaah terhadap model desain pembelajaran, model desain pembelajaran yang bagaimana yang tepat untuk mata pelajaran PAI di sekolah!
Jawab:
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, istilah model dapat diartikan sebagai tampilan grafis, prosedur kerja yang teratur atau sistematis, serta mengandung pemikiran bersifat uraian atau penjelasan berikut saran. Uraian atau penjelasan menunjukkan bahwa suatu model disain pembelajaran menyajikan bagaimana suatu pembelajaran dibangun atas dasar teori-teori seperti belajar, pembelajaran, psikologi, komunikasi, sistem, dan sebagainya. Tentu saja semua mengacu pada bagaimana penyelenggaraan proses belajar dengan baik. Sebagai saran, disain pembelajaran mengandung aspek bagaimana sebaiknya pembelajaran diselenggarakan atau diciptakan melalui serangkaian prosedur serta penciptaan lingkungan belajar. Selain itu, disain pembelajaran terdiri atas kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan untuk suatu proses belajar.[28]
Selain itu, pada masa sekarang ini, pendidikan agama dituntut tidak hanya memberikan pemahaman yang mendalam tentang agama, melainkan juga harus memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam membentuk karakter mulia. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan ini, namun belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Terkait hal tersebut, saya juga membaca sebuah jurnal tentang model pembelajaran pendidikan agama berbasis karakter mulia yang holistic, humanis, emansipatorik dan efektif, dengan langkah-langkahnya: Modelling, reflecting, deep discussion, problem solving, socialization dan authentic assessment. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif deskriptif pada Madrasah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ternyata model pembelajaran ini sudah dilaksanakan, dan hasilnya ternyata cukup efektif dalam membentuk akhlak mulia. Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, walaupun belum melaksanakan model pembelajaran tersebut secara sistematik dan terkonsolidatif, namun telah membawa hasil pembelajaran yang memenuhi harapan masyarakat. Karenanya, model pembelajaran yang demikian itu perlu diperkuat dan diterapkan pada lembaga pendidikan lainnya.
Kemudian, berdasarkan pembahasan model desain pembelajaran yang telah dilaksanakan diperkuliahan, saya berpendapat bahwa model desain pembelajaran yang tepat untuk mata pelajaran PAI adalah Model Gerlach dan Ely. Alasannya adalah model pembelajaran Gerlach dan Ely merupakan suatu metode perencanaan pengajaran yang sistematis. Model ini menjadi suatu garis pedoman atau suatu peta perjalanan pembelajaran karena dalam model ini diperlihatkan keseluruhan proses belajar mengajar yang baik, sekalipun tidak menggambarkan secara rinci setiap komponennya. Dalam model ini juga diperlihatkan hubungan antara elemen yang satu dengan yang lainnya serta menyajikan suatu pola urutan yang dapat dikembangkan dalam suatu rencana untuk mengajar.
Menurut Rusman[29] model ini cocok digunakan di segala kalangan termasuk untuk pendidikan tingkat tinggi, sebab dalam model ini:
1.      Terdapat penentuan strategi yang cocok digunakan oleh peserta didik dalam menerima materi yang disampaikan.
2.      Menetapkan pemakaian teknologi pendidikan sebagai media dalam penyampaian materi.
3.      Adanya upaya untuk menggambarkan secara grafis, suatu metode perencanaan yang sistematis.
4.      Merupakan suatu garis pedoman atau peta perjalanan yang hendaknya digunakan sebagai checklist dalam membuat sebuah rencana pembelajaran.
5.      Memperlihatkan keseluruhan PBM yang baik sekalipun tidak menggambarkan perincian setiap komponen.
6.      Memperlihatkan hubungan antara elemen yang satu elemen lainnya.
7.      Menyajikan suatu pola urutan yang dapat dikembangkan ke dalam suatu rencana kegiatan pembelajaran.

Kelebihan model pengembangan desain instruksional pembelajaran Gerlach dan Ely: (1) Sangat teliti dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, (2) Cocok digunakan untuk segala kalangan. Sedangkan, kekurangan model pengembangan desain instruksional pembelajaran Gerlach dan Ely, yaitu: (1) Terlalu panjangnya prosedur perancangan desain pembelajaran, (2) Tidak adanya tahapan pengenalan karakteristik siswa.

  1. Uraikan kriteria penetapan isi pembelajaran, dan prinsip apa saja menurut Anda dalam pemilihan model pembelajaran PAI yang seharusnya dikembangkan!
Jawab:
Berdasarkan kiat-kiat membimbing anak menjadi cerdas dan berbudi menurut Hamdan Rajiih dalam bukunya yang berjudul ”Cerdas Akal dan Cerdas Hati” adalah:
  1. Mengajarkan anak Alquran sejak dini, bahkan sejak di dalam kandungan.
  2. Melatih pelaksanaan sholat.
  3. Melatih berpuasa.
  4. Melatih pelaksanaan ibadah haji.
  5. Mengajak anak bermain.
  6. Memanfaatkan metode dakwah Nabi Saw., yaitu:
a.   Pendekatan keteladanan.
b.   Maksimalisasi pemanfaatan kesempatan bersama anak, yaitu: ketika sedang makan, ketika sedang rekreasi, dan ketika sedang sakit.
c.   Bersikap adil di antara anak-anak.
d.   Mendoakan kebaikan untuk anak.
e.   Menyentuh dan mengaktifkan potensi berpikir anak, yaitu: melalui cerita dan hikayat, berbicara sesuai tingkat kemampuan anak, dan komunikasi langsung.
f.    Menyentuh dan mengembangkan mental anak, yaitu: menemani anak saat rekreasi dengan adanya nasihat-nasihat di sela-sela rekreasi, bermain dan bercengkerama dengan anak, dan memberikan secercah kebahagiaan di dalam diri mereka dengan melalui kecupan, belaian, mengelus rambut anak, menyediakan makanan dan minuman untuk anak, memangku anak dengan hangat, sehingga anak merasakan kehangatan dan kasih sayang dari orangtuanya.
Kemudian, menurut Mahmud Khalifah dan Usamah Quthub dalam bukunya yang berjudul ” Kaifa Tashbaha Mu’alliman Mutamayyizan Barometer yang harus diperhatikan untuk memilih cara pengajaran yang tepat adalah sebagai berikut:
a.   Harus selaras dengan tujuan-tujuan pelajaran.
b.   Harus bisa memikat perhatian para murid terhadap pelajaran.
c.   Harus selaras dengan kematangan para murid.
d.   Harus selaras dengan kandungan materi pelajaran.
e.   Harus menerima perbaikan jika situasi pengajaran menuntut hal itu.
f.    Harus menjaga perbedaan karakteristik di antara para murid.
g.   Harus sesuai dengan kondisi dan keadaan pengajaran.
h.   Harus membantu para murid untuk meningkatkan pola pikir.
i.     Memberikan kesempatan kepada para murid untuk berdiskusi atau berdialog.
j.     Memberikan kesempatan kepada para murid untuk melakukan kunjungan lapangan.
k.   Membolehkan para murid untuk menggunakan buku-buku referensi lain selain buku-buku pelajaran.
l.     Meningkatkan ruh musyawarah para murid.[30]
Kemudian, dengan adanya teori berlandaskan Islam di atas dan berdasarkan teori-teori sebelumnya, maka perpaduan dari semua teori yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, diharapkan akan menghasilkan model pembelajaran yang lebih utuh, yang mencakup kecerdasan IQ, EQ dan SQ. Dengan adanya keutuhan ini, diharapkan dihasilkan anak didik yang lebih sempurna dalam proses pembelajaran PAI.
  1. Menurut Anda bagaimana desain pembelajaran PAI yang bagus untuk madrasah dan untuk sekolah? Analisislah berdasarkan teori-teori pendidikan dan pembelajaran, dan pandangan Islam!
Jawab :

1)   Merumuskan tujuan pembelajaran (specification of object)
Tujuan instruksional harus dirumuskan dalam kemampuan apa yang harus dimiliki pada tingkat jenjang belajar tertentu. Tujuan ini juga dipadukan dengan tujuan pendidikan di dalam Islam, misalnya penanaman akidah dan akhlak, kemudian pelatihan keterampilan ibadah, kebiasaan perilaku terpuji serta sikap ketaatan kepada aturan Allah dan Rasul Saw.
2)   Menentukan isi materi (specification of content)
Bahan atau materi pada dasarnya adalah isi dari kurikulum yakni berupa mata pelajaran atau bidang studi, topik/sub topik dan rinciannya. Isi materi berbeda-beda menurut bidang studi, sekolah, tingkatan dan kelasnya, namun isi materi harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya. Materi ini pun disesuaikan dengan landasan akidah Islam yang telah ditetapkan dalam tujuan sebelumnya, sehingga ada keterpaduan di semua materi pelajaran yang terdapat di madrasah, dan dapat membentuk anak didik yang utuh dimensi dunia dan dimensi ukhrawinya.
3)   Menentukan kemampuan awal/penilaian kemampuan awal siswa (Assesment of Entering behaviors)
Kemampuan awal siswa ditentukan dengan memberikan tes awal. Pengetahuan tentang kemampuan awal siswa ini penting bagi pengajar agar dapat memberikan dosis pelajaran yang tepat; tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Dengan warna akidah Islam, kemampuan anak disesuaikan dengan konsep Islam dalam pendidikan anak, sehingga proses pembelajaran bisa sesuai dengan perkembangan anak sebagaimana yang dipesankan dan dicontohkan baginda Nabi Saw.
4)   Menentukan teknik dan strategi (Determination of strategy)
Menurut Gerlach dan Ely, strategi merupakan pendekatan yang dipakai pengajar dalam memanipulasi informasi, memilih sumber-sumber, dan menentukan tugas/peranan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan perkataan lain, pada tahap ini pengajar harus menentukan cara untuk dapat mencapai tujuan instruksional dengan sebaik-baiknya. Dlam tahapan ini, berdasarkan konsep sebelumnya, teknik dan strategi yang digunakan harus mampu menarik minat anak didik, kemudian mampu meningkatkan kemampuan intelektual, mental dan spiritual anak didik.
5)   Menentukan Pengelompokan belajar (Organization of groups)
Setelah menentukan pendekatan dan metode, pengajar harus mulai merencanakan bagaimana kelompok belajar akan diatur. Pendekatan yang menghendaki kegiatan belajar secara mandiri dan bebas (independent study) memerlukan pengorganisasian yang berbeda dengan pendekatan yang memerlukan banyak diskusi dan partisipasi aktif siswa dalam ruang yang kecil, atau untuk mendengarkan ceramah dalam ruang yang luas. Berdasarkan konsep musyawarah dalam Islam, maka dalam diskusi ini diarahkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang sesuai dengan Alquran dan Assunah.
6)   Menentukan pembagian waktu (Allocation of times)
Pemilihan strategi dan teknik untuk ukuran kelompok yang berbeda-beda tersebut mau tidak mau akan memaksa pengajar memikirkan penggunaan waktunya, yaitu apakah sebagian besar waktunya harus dialokasikan untuk presentasi atau pemberian informasi, untuk pekerjaan laboratorium secara individual, atau untuk diskusi. Dalam Islam, sikap disiplin merupakan perilaku terpuji yang harus dimiliki seorang muslim, oleh karena itu, efektifitas pembelajaran sangat diperhatikan, dikarenakan waktu anak belajar sangatlah berharga.
7)   Menentukan ruang (Allocation of space)
Sesuai dengan tiga alternative pengelompokan belajar seperti pada no.5, alokasi ruang ditentukan dengan menjawab apakah tujuan belajar dapat dipakai secara lebih efektif dengan belajar secara mandiri dan bebas, berinteraksi antarsiswa, atau mendegarkan penjelasan dan bertatap muka dengan pengajar.
8)   Memilih media instruksional yang sesuai (Allocation of Resources)
Pemilihan media ditentukan menurut tanggapan siswa yang disepakati. Jadi tidak sekadar yang dapat memberikan stimulus rangsangan belajar. Gerlach dan Ely mambagi media sebagai sumber belajar ini ke dalam lima katergori, yaitu: (a) manusia dan  benda nyata, (b) media visual proyeksi, (c) media audio, (d) media cetak, dan (e) media display.
9)   Mengevaluasi hasil belajar (evaluation of performance)
Kegiatan belajar adalah interaksi antara pengajar dan siswa, interaksi antara siswa dan media instruksional. Hakiakat belajar adalah perubahan tingkah laku belajar pada akhir kegiatan instruksional. Semua usaha kegiatan pengembangan instruksional di atas dapat dikatakan berhasil atau tidak setelah tingkah laku akhir belajar tersebut dievaluasi.
Gerlach dan Ely membagi media sebagai sumber belajar menjadi 5 kategori:
a)      Manusia dan benda nyata
b)      Media visual proyeksi
c)      Media audio
d)      Media cetak
e)      Media display
10)    Menganalisis umpan balik (analisys of feedback)
Analisis umpan balik merupakan tahap terakhir dari pengembangan sistem instruksional ini. Data umpan balik yang diperoleh dari evaluasi, tes, observasi, maupun tanggapan-tanggapan tentang usaha-usaha instruksional ini menentukan, apakah sistem, metode, maupun media yang dipakai dalam kegiatan instruksional tersebut sudah sesuai untuk tujuan yang ingin dicapai atau masih perlu disempurnakan.
Dengan adanya pengintegrasian konsep Islam dan Model desain Gerlach dan Ely ini, terlihat bahwa desain pembelajaran ini lebih utuh dan terarah.

  1. Materi PAI terdiri dari beberapa aspek kajian seperti Akidah, Akhlak, Fikih, Sejarah, dan Alquran serta Hadis. Masing-masing memiliki karakteristik tujuan yang berbeda, tentu kalau berdasarkan kajian model pembelajaran memiliki desain dan model yang berbeda. Kemukakan pendapat Anda, dengan dukungan teori pembelajaran!
Jawab :

Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya, dapat dipahami bahwa model pembelajaran yang terbaik untuk melaksanakan pembelajaran Akidah, Akhlak, Fikih, Sejarah, dan Alquran serta Hadis adalah ”model holistik, humanistik, emansipatorik dan efektif”. Adapun model ini merupakan bagian dari rumpun model pembelajaran konstruktivistik. Sutikno menyebutkan ciri-ciri model pembelajaran konstruktivistik, antara lain: memandang pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah-ubah tidak menentu, belajar adalah menyusun pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaborasi, dan refleksi serta interpretasi.[31] Pembelajaran kontekstual, kooperatif,  kuantum, terpadu dan berbasis masalah, menurut Sugiyono dapat pula dimasukkan ke dalam rumpun model konstruktifistik dengan ciri-cirinya sebagaimana dikemukakan di atas.[32]
Adapun berdasarkan berdasarkan konseptual teoritis yang dijelaskan, maka langkah-langkah pembelajaran holistik, humanistik dan emansipatorik adalah sebagai berikut:
1)  Modelling, pada tahap ini guru menyontohkan, memperagakan, menyimulasikan, atau mempraktikkan ucapan, perbuatan atau sikap yang terseleksi dan secara akademik dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Misalnya menyontohkan bacaan al-Qur’an dengan benar dan fasih.
2)  Reflecting, pada tahap ini guru meminta peserta didik untuk mengemukakan kesan, komentar, saran, catatan, baik lisan maupun tulisan terhadap pengalamannya melihat, menirukan dan memperagakan contoh yang diberikan oleh guru. Selain itu, guru juga meminta peserta didik mendeskripsikan setiap langkah dari apa yang ditirukannya dari guru. Misalnya, peserta didik diminta menuliskan gerakan apa saja yang dilakukan dalam peragaan shalat, dan bacaan apa saja yang dibaca pada setiap gerakan tersebut. hasil refleksi ini kemudian diberikan catatan, komentar, perbaikan dan penguatan oleh guru, sehingga hasil refleksi tersebut sudah tervalidasi.
3)  Problem Solving, pada tahap ini, guru meminta peserta didik untuk memecahkan permasalahan yang terkait dengan topik yang telah diajarkan melalui modeling dan reflecting sebagaimana tersebut di atas. Guru misalnya mengajukan permasalahan yang terkait dengan peragaan shalat. Misalnya guru memberikan pertanyaan tentang bagaimana cara mengerjakan shalat bagi orang yang cacat; atau cara mengerjakan shalat ketika dalam perjalanan, dan sebagainya.
4)  Deep Discussion,  pada tahap ini, guru meminta peserta didik untuk mempresentasikan hasil jawabannya atau permasalahan yang dipecahkan sebagaimana yang terdapat pada tahap ketiga di atas di hadapan peserta didik lainnya. Melalui tahap ini, peserta didik akan memperoleh wawasan dan pemahaman yang lebih luas atas masalah yang dipecahkan dengan argumentasi yang lebih luas dan mendalam.
5)  Socialization, pada tahap ini peserta didik diajak untuk memperagakan kemampuan akademiknya di lingkungan sekolah itu sendiri, atau di tempat tinggalnya masing-masing. Melalui proses ini, peserta didik akan menyaksikan secara langsung bagaimana sebuah kompetensi dilakukan masyarakat, sehingga terjadi proses interaksi antara dirinya dan masyarakat sekitarnya.
6)  Authentic assessment, pada tahap ini peserta didik dilihat kemampuannya secara orisinal, obyektif dan komprehensif dengan cara meminta peserta didik untuk menilainya sendiri. Penilaian kemampuan afektif dilakukan melalui pengamatan yang berkelanjutan (continous observation) serta berdasarkan portofolio. Penilaian kemampuan psikomotorik dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung, meminta peserta didik untuk mendemonstrasikan suatu keterampilan; melibatkan semua pihak yang ada di sekolah, termasuk orangtua peserta didik dan masyarakat, melalui wawancara, angket dan sebagainya.[33]
Dengan melihat perbedaan tujuan dan materi yang dimiliki oleh masing-masing mata pelajaran, maka ada perbedaan dalam aplikasinya, penjelasannya lebih lanjutnya sebagai berikut:
Ø Akidah, diperbanyak model yang mengarah ke pemrosesan informasi, di mana siswa diajak untuk berpikir mendalam tentang keimanan, serta melakukan analisa terkait aplikasi keimanan dalam kehidupan sehari-harinya, jadi aspek emosional dan spiritualnya lebih ditekankan.
Ø Akhlak, diperbanyak sisi afektifnya, sehingga anak didik bisa merasakan perkembangan emosi yang lebih matang. Selain itu, anak didik diajak untuk mengamati lingkungan sekitarnya, dan membuat konsep yang benar terkait akhlak yang diajarkan dalam Islam.
Ø Fikih, diperbanyak praktik dan latihan, dalam hal ini modelling menjadi perkara yang penting, dikarenakan anak didik akan lebih mudah memahami dengan melihat sekaligus mempraktikkannya.
Ø Sejarah, diperbanyak sisi afektifnya, dengan kata lain materi sejarah ini harus menimbulkan emosi saat pembahasannya, sehingga materi yang diajarkan lebih melekat diingatan anak didik.
Ø Alquran serta Hadis, diperbanyak praktik dan latihan juga, dalam hal ini dikenal metode talaqqi (berhadapan langsung antara murid dan guru), dengan metode seperti ini, proses evaluasi/perbaikan kesalahan pada anak didik akan lebih efektif.




DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman, Hafidz, Membangun Kepribadian Pendidik Umat: Ketauladanan Rasulullah Saw. di Bidang Pendidikan, (Ciputat: Wadi Press, 2005).

Al-Nabhani, Taqiyuddin, Minmuqawwimat Nafsiyah Islamiyah, diterjemahkan oleh Yasin dengan judul, “Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah”, cet. ke-1, (Jakarta: HTI Press, 2005).

_________, Nizham al-Islam, diterjemahkan oleh Abu Amin, dkk, dengan judul, “Peraturan Hidup dalam Islam”, cet. ke-6, (Jakarta Selatan: HTI Press, 2010).

Al-Shâbûnî, Muhammad ‘Ali, Shafwat Al-Tafâsîr, (Beirut-Lebanon: Dâr Al-Fikr, 2001).

Chatib, Munif, Gurunya Manusia, Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, cet. ke-3, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011).

Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Edisi Revisi), cet. ke-3, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006).

Joyce, Bruce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun, Models of Teaching, diterjemahkan oleh Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza dengan judul “Model-model Pengajaran” Edisi Kedelapan, cet. ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).

Khalifah, Mahmud dan Usamah Quthub, Kaifa Tashbaha Mu’alliman Mutamayyizan, diterjemahkan oleh: Marianto Samosir dengan judul “Menjadi Guru yang Dirindu: Bagaimana Menjadi Guru yang Memikat dan Profesional?”, cet. ke-1, (Surakarta: Ziyad Visi Media, 2009).

Popham, W. James dan Eva L. Baker, Estabilishing Instructional Gools and Systematic Instruction, diterjemahkan oleh: Amirul Hadi dengan judul “Teknik Mengajar Secara Sistematis”, cet. ke-4, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).

Prawiradilaga, Dewi Salma, Prinsip Disain Pembelajaran (Instructional Design Principles), cet. ke- 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).

Rajiih, Hamdan, Cerdas Akal, Cerdas Hati: Mengasah dan Mengembangkan Kecerdasan Intelektual (IQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) Buah Hati Anda, diterjemahkan oleh: Abdul Wahid Hasan dan Ach. Maimun Syamsuddin, cet. ke-1, (Jogjakarta: Diva Press, 2008).

Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, cet. ke-4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011).

Slavin, Robert E., Educational Psycology: Theory and Practice, Edisi Kedelapan Jilid 1, diterjemahkan oleh: Marianto Samosir dengan judul “Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik”, (Jakarta: PT. Indeks, 2008).

Sutikno, M. Sobry, Menggagas Pembelajaran Efektif dan Bermakna. (Mataram: NTB Press, 2007)

Sugiyono, Model-model Pembelajaran Inovatif, (Surakarta: Yuma Pustaka dan FKIP UNS, 2010)

Thâhir, Abî, Tanwir Al-Miqbâs, tafsîr ‘Ibnu ‘Abbâs, (Beirut, Dâr Al-Fikr, 2001).

Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006).

Uno, Hamzah B., Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif, cet. ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).

Yasin, Abu, Usus At-ta’lim fi Daulah Al-khilafah, diterjemahkan oleh Ahmad Fahrurozi dengan judul, Strategi Pendidikan Negara Khilafah, cet. ke-4, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008).

Jurnal:

Nata, Abuddin dan Ahmad Sofyan, Pengembangan Desain Model Pembelajaran PAI Berbasis Karakter Mulia Yang Holistik, Humanis, Emansipatoris, dan Efektif, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, diterbitkan tanggal pada 14 Mei 2014)


[1]Abu Yasin, Usus At-ta’lim fi Daulah Al-khilafah, diterjemahkan oleh Ahmad Fahrurozi dengan judul, Strategi Pendidikan Negara Khilafah, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), Cet. ke-4, h. 38-39.

[2]Muhammad ‘Ali Al-Shâbûnî, Shafwat Al-Tafâsîr, (Beirut-Lebanon: Dâr Al-Fikr, 2001), h. 230-231.
[3]Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam, diterjemahkan oleh Abu Amin, dkk, dengan judul, Peraturan Hidup dalam Islam, (Jakarta Selatan: HTI Press, 2010), cet. ke-6, h. 7-24.

[4]Taqiyuddin an-Nabhani, Minmuqawwimat Nafsiyah Islamiyah, diterjemahkan oleh Yasin dengan judul, Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, (Jakarta: HTI Press, 2005), cet ke-1, h. 3.

[5]Hafidz Abdurrahman, Membangun Kepribadian Pendidik Umat: Ketauladanan Rasulullah Saw. di Bidang Pendidikan, (Ciputat: Wadi Press, 2005), h. 22.
[6]Abu Yasin, op. cit., h. 10.

[7]Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006), h. 8.
[8]Ibid., h. 50.
[9]Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), Cet. ke-3, h. 3.
[10]Abî Thâhir, Tanwir Al-Miqbâs, tafsîr ‘Ibnu ‘Abbâs,(Beirut, Dâr Al-Fikr, 2001), h. 281.
[11]Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, cet. ke-4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h. 138.
[12]Ibid, h. 141-142.
[13]Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun h. 32.

[14]Rusman, h. 143.
[15]Rusman, h. 144.
[16]Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun, h. 31.

[17]Munif Chatib, Gurunya Manusia, Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, cet. ke-3, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011), h. 81-82.
[18]Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun, h. 31.
[19]Ibid, h. 32.
[20]Hamzah B. Uno, h. 12
[21]Hamzah B. Uno, h. 13.

[22]Ibid, h. 14.
[23] Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun, Models of Teaching, diterjemahkan oleh Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza dengan judul “Model-model Pengajaran” Edisi Kedelapan, cet. ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 45-55.
[24]Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun, Models of Teaching, diterjemahkan oleh Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza dengan judul “Model-model Pengajaran” Edisi Kedelapan, cet. ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 57-58.
[25]W. James Popham dan Eva L. Baker, Estabilishing Instructional Gools and Systematic Instruction, diterjemahkan oleh: Amirul Hadi dengan judul “Teknik Mengajar Secara Sistematis”, cet. ke-4, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 11-12.
[27]Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, cet. ke-4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h. 232.
[28]Dewi Salma Prawiradilaga, Prinsip Disain Pembelajaran (Instructional Design Principles), cet. ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 33.
[29]Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, cet. ke-4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011).
[30]Mahmud Khalifah dan Usamah Quthub, Kaifa Tashbaha Mu’alliman Mutamayyizan, diterjemahkan oleh: Marianto Samosir dengan judul “Menjadi Guru yang Dirindu: Bagaimana Menjadi Guru yang Memikat dan Profesional?”, cet. ke-1, (Surakarta: Ziyad Visi Media, 2009), h. 135-136.
[31]M. Sobry Sutikno, Menggagas Pembelajaran Efektif dan Bermakna. (Mataram: NTB Press, 2007), h. 17-21.
[32]Sugiyono, Model-model Pembelajaran Inovatif, (Surakarta: Yuma Pustaka dan FKIP UNS, 2010), h. 145-165.
[33]Abuddin Nata dan Ahmad Sofyan, Pengembangan Desain Model Pembelajaran PAI Berbasis Karakter Mulia Yang Holistik, Humanis, Emansipatoris, dan Efektif, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, diterbitkan tanggal pada 14 Mei 2014)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »