Pernyataan:
Pembelajaran PAI adalah jantungnya pendidikan di Indonesia dan amat
penting dalam mengembangkan kualitas manusia masa mendatang.
Melalui
pembelajaran PAI anak didik memahami dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan
menjadi warga negara yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, produktif serta
kreatif. Sayangnya, pembelajaran masa kini masih belum mampu mengembangkan
kualitas manusia Indonesia yang diharapkan berdasarkan tujuan pendidikan
nasional. Banyak faktor penghambat yang diidentifikasi para ahli, seperti
kompetensi guru, karakteristik kurikulum, sarana dan fasilitas, serta kebijakan
lainnya yang tidak mendukung.
Kajian Model Pembelajaran PAI dapat memberikan visi, cara, dan inovasi
lainnya dalam mengembangkan proses pembelajaran PAI, berdasarkan pandangan
teoritis yang teradapat dalam banyak literatur model dan desain pembelajaran
pendidikan Islam. Inilah salah satu manfaat dari kajian model pembelajaran PAI.
Pertanyaan:
- Jelaskan pernyataan di atas!
Jawab:
Pada masa kini, permasalahan pendidikan menjadi tema yang terus dibahas
dalam berbagai seminar, diskusi umum, dan pertemuan sejenisnya. Hal ini
disebabkan banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan di negeri
ini, seperti satu contohnya adalah dalam dunia pergaulan, di mana generasi muda
saat ini sangat jauh dari pergaulan yang Islam. Sebagai gambaran, telah
diperoleh data survey bahwa sebanyak 54% remaja kota Bogor mengaku pernah
berhubungan seks, bahkan ini lebih besar dari kota Jakarta yang tercatat
sebanyak 51%, kota Medan sebanyak 52% dan kota Surabaya sebanyak 47% (Kompas,
2006).
Sedangkan, menurut survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) tercatat sebanyak 51% remaja se-Jabodetabek melakukan seks di luar
nikah. Bahkan, pada penelitian Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
Perlindungan Anak) tahun 2008 terhadap siswa SMP dan SMA yang ada di Indonesia,
ternyata diperoleh data yang sangat mencengangkan, yaitu 97% remaja SD mengaku
pernah menonton film porno, kemudian 93,7% remaja SMP mengaku pernah berciuman
serta happy petting (bercumbu berat), bahkan 62,7% remaja SMP mengaku
sudah tidak perawan lagi, dan pada remaja SMA, tercatat sebanyak 21,2% pernah
melakukan aborsi, di Indonesia sendiri tercatat sekitar 2,5 juta perempuan
setiap tahunnya menjalani aborsi, sebagian besarnya karena diakibatkan
pergaulan bebas.
Data di atas merupakan data 10 tahun yang lalu, dan kini jumlah yang
bergaul bebas semakin banyak dan parah, bahkan merambah anak-anak SD. Tentunya,
bagi para pemerhati pendidikan, masalah ini menjadi buah pikiran bagi mereka,
dan tentunya solusi atas permasalahan tersebut terus dicari dan dibahas.
Di tengah pembahasan-pembahasan yang terjadi, muncullah berbagai teori yang
ditujukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan salah satu teori pendidikan
yang gencar ditawarkan adalah pendidikan Islam, dan berbagai perangkat yang
berlandaskan konsep pendidikan Islam tersebut.
Hal ini dikarenakan, konsep pendidikan Islam yang lebih komprehensif dan
lebih utuh dalam memandang pendidikan. Salah satunya adalah konsep pembentukan
manusia, yang utuh dan tidak dikotomis, Islam memahami manusia sebagai makhluk
yang sempurna dengan dua dimensi yang dimilikinya, dimensi jasmaniah dan
dimensi ruhaniah, sehingga dua dimensi inilah yang dikembangkan dalam Islam.
Tentunya aspek mendasar adalah aspek ruhaniyah yang dimiliki seorang manusia,
dan aspek ini sangat ditentukan oleh akidah yang dimilikinya.
Dalam Islam, perilaku ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, sangat ditentukan
oleh seberapa besar akidah (keimanan) yang dimilikinya kepada Tuhannya. Akidah
inilah yang menjadi pondasi bagi terbentuknya kesadaran akan kewajiban mentaati
hukum-hukum Allah Swt. di segala aspek hidupnya. Akidah Islam merupakan
satu-satunya asas, sebagai standar bagi seorang muslim dalam hal keyakinan dan
perbuatan, untuk menilai apakah sesuatu dapat diambil atau harus ditinggalkan.[1]
Untuk
menanamkan akidah yang kokoh diperlukan adanya proses penanaman akidah dengan
konsep yang jelas serta memuaskan akal. Islam telah menjawab semua itu dengan
penjelasan perkara akidah yang berdasarkan pada rasionalitas, sehingga mampu
memuaskan akal manusia.
Sebagai
gambaran, dalam Islam seorang muslim dituntut untuk berpikir mengenai
penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan. Firman Allah Swt. dalam Q.S.
Ali Imran ayat 191, yang berbunyi:
tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$#
Dalam
kitab “Shafwat Al-Tafâsîr” dijelaskan bahwa tafsir ayat di atas yang
diterjemahkan oleh penulis adalah “Mereka mengingat Allah dengan lisan dan hati
mereka, dalam setiap keadaan. Baik dalam keadaan berdiri, berduduk dan
berbaring. Sehingga, mereka tidak lupa kepada Allah dalam setiap waktu. Mereka
mengingat Allah agar hati mereka tenang dan tenggelam dalam kebahagiaan dengan
mendekatkan diri kepada Allah”[2]
Dan
pada firman Allah Swt. dalam Alquran surah Al Baqarah ayat 73, yang berbunyi:
y7Ï9ºxx. Çósã ª!$# 4tAöqyJø9$# öNà6Ìãur ¾ÏmÏG»t#uä öNä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÐÌÈ
Proses keimanan seperti inilah yang mendasari bangkitnya pemikiran seorang
hamba. Hal ini telah dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam
kitabnya “Nidzam al-Islam” pada bab yang berjudul “Thariq al-Iman”.[3]
Bukan hanya keimanan di hati, seorang Muslim juga harus meyakini bahwa
Islam merupakan agama ritual sekaligus way of life (pedoman hidup) bagi
dirinya.
Sebagai pedoman hidup, Islam tidak hanya terkait perkara ibadah-ritual dan
akhlak semata, namun juga berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan manusia
keseluruhan, seperti ekonomi, hukum, sosial-budaya, politik, pemerintahan serta
pertahanan dan keamanan.
Sehingga, dengan konsep ketaatan yang total pada hukum Allah ini diharapkan
akan terlahir manusia-manusia yang berkepribadian Islam, yang akhirnya bisa
membangun peradaban Islam yang mulia di negeri ini.
Kepribadian Islam menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani adalah akumulasi dari
pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (jiwa/nafsiyah) manusia yang
berlandaskan Islam, di mana yang menjadi tolak ukurnya adalah hukum syara’,
yaitu bersumber dari Alquran dan hadis.[4]
Kesatuan pola pikir dan pola sikap dalam asas Islam inilah yang melahirkan
manusia yang sempurna, hal ini didasarkan pada konsep pendidikan dalam Islam
yang menjelaskan bahwa pendidikan adalah proses manusia untuk menjadi sempurna
yang diridhai oleh Allah Swt.[5]
Pendidikan Islam
juga memiliki visi (tujuan) pokok yang sangat mendasar, yaitu:
1. Membangun kepribadian Islam,
pola pikir (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah) bagi umat; yaitu dengan cara
menanamkan tsaqofah Islam berupa
akidah, pemikiran, dan perilaku Islami ke dalam akal dan jiwa anak didik.
2. Mempersiapkan anak-anak kaum
Muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek
kehidupan, baik ilmu-ilmu ke-Islaman (ijtihad, fiqh, peradilan dan lain-lain)
maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran dan lain-lain).
Ulama-ulama yang mumpuni akan membawa sebuah Negara; khususnya negara yang
berdasarkan aturan Islam; dan umat Islam -melalui pundak-pundak mereka- untuk
menempati posisi puncak di antara bangsa-bangsa dan negara-negara lain.[6]
Terkait akan pemahaman tentang pentingnya pendidikan dalam Islam, Indonesia
juga telah merumuskan fungsi Pendidikan Nasional, yaitu pada Bab II pasal 3,
yang berbunyi:
Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[7]
Pada rumusan di atas, khususnya pada kalimat “…agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa…”, dapat dipahami bahwa,
pembentukan kepribadian Islami bagi warga negara Indonesia telah menjadi hal
yang mendasar bagi terbentuknya manusia yang utuh, yaitu berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.
Untuk melahirkan warga negara yang beriman
dan bertakwa kepada Allah Swt., diperlukan adanya penanaman Islam sejak
dini. Di sinilah peran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai
salah satu mata pelajaran wajib pada setiap jenjang pendidikan di negeri ini,
dari tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah (SD/MI), Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
(SMA/MA), sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
Hal ini telah disebutkan di dalam rumusan Strategi Pembangunan Pendidikan
Nasional di dalam UUD Sisdiknas, yang menyebutkan bahwa salah satu dari 13
strategi yang telah dirumuskan adalah “pelaksanaan pendidikan agama serta
akhlak mulia.”[8]
Dengan adanya pendidikan berbasis akidah Islam diharapkan akan lahir
manusia yang cerdas, yang mampu memahami potensi dirinya sebagai makhluk Allah (Abdullah) sekaligus
Pemimpin (Khalifah), kemudian memahami masyarakat dan bangsanya yang menjadi
lahan dakwah dan ladang tempat menebar rahmat, dan menjadi warga negara yang
beriman, bertakwa, berakhlak mulia, produktif serta kreatif.
Perlu dipahami, untuk melahirkan masyarakat yang memiliki kepribadian
Islam, Indonesia memerlukan sistem pendidikan yang tepat dan benar. Sistem ini
harus memiliki landasan yang benar, perencanaan yang matang dan perlu adanya
kesungguhan berbagai pihak dalam menjalankannya.
Jadi, kalau hanya konsep yang ditawarkan, tanpa ada sistem yang seirama
dengan konsep yang ada, maka cita-cita untuk melahirkan output pendidikan yang
berkualitas, dirasakan mustahil untuk dicapai.
Permasalahan pendidikan di negeri ini bukan hanya konsepnya, akan tetapi
juga menyangkut masalah sistem pelaksanaannya, yang akhirnya menimbulkan masalah-masalah
lain yang dihadapi pendidikan di negeri, seperti permasalahan kompetensi guru yang masih belum terpenuhi
standarnya, kemudian karakteristik kurikulum yang tepat bagi pendidikan di
negeri ini belum ditemukan (karena berubah-ubah), sarana dan fasilitas yang
masih sangat kurang, hal ini terlihat dari banyaknya berita tentang sekolah
yang ambruk, sekolah-sekolah yang sulit didatangi dikarenakan sarana jalanan
yang rusak atau akses jalan yang tidak ada, gaji guru yang dirasa belum layak,
dan masalah lainnya.
Permasalahan-permasalahan
tersebut terlihat sangat sulit diatasi langsung oleh pihak guru/pendidikan,
dikarenakan perlu adanya kebijakan dari penguasa untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Adapun, bagi pemerhati pendidikan, permasalahan yang beragam
tersebut, tidak menyurutkan langkah mereka untuk berusaha memperbaiki dunia
pendidikan di negeri ini, salah satunya adalah pembahasan model pembelajaran
yang dipakai dalam pembelajaran PAI yang merupakan mata pelajaran pokok dari
pembentukan karakter anak didik di negeri ini.
Seorang
guru PAI, dituntut lebih cakap dan handal dalam melaksanakan tugasnya mendidik
karakter Islami pada peserta didik, dikarenakan ditangan merekalah generasi
pemimpin masa depan akan dilahirkan. Tentunya dengan kondisi pendidikan yang
dipenuhi beragam masalah seperti saat ini, kemampuan guru dalam melaksanakan
pembelajaran harus lebih ditingkatkan.
Oleh karena itu, dalam pembelajaran hal penting lainnya adalah metode dan
strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru. Bahkan, menurut Syaiful Bahri
Djamarah, kemampuan yang dapat dimiliki anak didik dari pembelajaran, sangat
ditentukan oleh relevansi penggunaan metode dengan tujuan. Dengan kata lain,
tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan penggunaan metode yang tepat dan sesuai
dengan standar keberhasilan yang terpatri dalam tujuan pembelajaran tersebut.[9]
Bahkan, sebuah adagium mengatakan bahwa “At-Thariqat Ahamm min al-Maddah”
(metode jauh lebih penting dibanding materi). Sebuah realita bahwa cara
penyampaian yang komunikatif lebih disenangi oleh siswa, walaupun sebenarnya
materi yang disampaikan tidak terlalu menarik. Sebaliknya materi yang cukup
menarik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu
sulit dicerna oleh siswa.
Selain itu, Islam juga mengajarkan dalam memberikan pelajaran hendaklah
memilih metode dan strategi yang tepat. Seperti yang terdapat dalam Q.S. An
Nahl: 125, yang berbunyi:
äí÷$#
4n<Î)
È@Î6y
y7În/u
ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/
ÏpsàÏãöqyJø9$#ur
ÏpuZ|¡ptø:$#
( Oßgø9Ï»y_ur
ÓÉL©9$$Î/
}Ïd
ß`|¡ômr&
4 ¨bÎ)
y7/u
uqèd
ÞOn=ôãr&
`yJÎ/
¨@|Ê
`tã
¾Ï&Î#Î6y
( uqèdur
ÞOn=ôãr&
tûïÏtGôgßJø9$$Î/
ÇÊËÎÈ
Ayat tersebut menjelaskan bagaimana cara berdakwah (mengajar) yang
dianjurkan bagi umat Islam. Cara-cara yang dimaksud adalah dengan hikmah,
pelajaran yang baik, serta tatkala membantah orang kita harus membantahnya
dengan cara yang baik pula.
Berdasar tafsir Ibnu Abbas dijelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ”bi
al-qur’an”, kemudian yang dimaksud pelajaran yang baik adalah ” ‘izhhum
bimawâ‘izhi al-qur’an” (berilah mereka nasihat dengan pelajaran-pelajaran
yang terdapat dalam Alquran), lalu yang dimaksud dengan bantahlah mereka dengan
baik adalah ”bi al-qur’an wa yuqâlu bi laa ilaaha illâ allâh” (dengan
Alquran dan ada juga yang mengatakan dengan laa ilaaha illâ allâh).[10]
Dari anjuran tersebut, terlihat bahwa cara dalam berdakwah (mengajar) itu
merupakan unsur yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan dakwah/pengajaran. Cara
dakwah/mengajar ini sangat terkait dengan keahlian dai/guru dalam meramu
cara/teknik mengajar sesuai dengan kondisi dan situasi yang dialami.
Selain teknik mengajar, kajian terhadap model
pembelajaran juga menjadi hal penentu dalam keberhasilan pembelajaran. Sekedar
dipahami model pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk menggambarkan
penyelenggaraan proses belajar mengajar dari awal sampai akhir. Dalam model
pembelajaran sudah mencerminkan penerapan suatu pendekatan, metode, teknik atau
taktik pembelajaran sekaligus. Dengan pemahaman akan model-model pembelajaran
yang beragam, guru akan lebih handal dalam melaksakan proses pembelajarannya.
Oleh
karena itulah, salah satu kajian yang dapat meningkatkan kemampuan guru PAI
dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran adalah kajian Model Pembelajaran. Adapun
manfaat Kajian Model Pembelajaran PAI yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.
Dapat
memberikan visi yang jelas dari tugas yang dilaksanakan oleh guru PAI,
dikarenakan dari model-model pembelajaran yang dikaji akan diperoleh pemahaman
yang utuh tentang anak didik, di mana dalam melihat anak didik, guru akan
menggunakan beragam sudut pandang, misalnya dari sudut psikologis, sosiologis,
dan tentunya dari pemahaman akidah Islam.
b.
Kajian
model pembelajaran akan menambah pengetahuan guru PAI akan cara-cara mengajar
yang sesuai dengan perkembangan kecerdasan dan kejiwaan anak, sehingga, guru
PAI akan lebih efektif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
c.
Dengan
adanya kajian terhadap model pembelajaran, guru PAI akan lebih kreatif dalam
mengajar, dikarenakan luasnya wawasan yang diperolehnya dari kajian tersebut.
d.
Guru
PAI akan memberikan pengaruh yang lebih besar dalam dunia pendidikan di negeri
ini, karena perannya dalam dunia pendidikan akan lebih besar lagi, tentunya
dengan peran yang besar dan adanya kedalaman pemahaman agama yang dimilikinya
akan mewarnai berbagai komponen pendidikan yang ada di negeri ini, seperti
kurikulum pendidikan, dan berbagai kebijakan lainnya.
- Model pembelajaran dilandasi oleh pandangan filosofi yang berbeda dalam memandang tentang anak, cara belajar, tujuan pendidikan, guru, serta lingkungan, kemukakan dan jelaskan secara komprehensif rumpun model pembelajaran menurut para ahli!
Jawab:
Model pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk
menggambarkan penyelenggaraan proses belajar mengajar dari awal sampai akhir.
Dalam model pembelajaran sudah mencerminkan penerapan suatu pendekatan, metode,
teknik atau taktik pembelajaran sekaligus. Dengan pemahaman akan model-model
pembelajaran yang beragam, guru akan lebih handal dalam melaksanakan proses
pembelajarannya.
Adapun terkait pembahasan model pembelajaran secara
lebih mendalam, guru yang memahami sebab lahirnya sebuah model pembelajaran,
dapat memiliki pandangan yang utuh dari sebuah model. Sehingga dalam praktiknya
guru tersebut akan lebih terarah dan tersistematis dalam rangka meraih tujuan
yang ingin dicapainya.
Dari sudut pandang (paradigma)
yang beraneka ragam dan oleh beberapa ahli atau sisi keilmuan, maka lahirlah
beragam model pembelajaran, dan terkumpul dalam 4 (empat) rumpun, yaitu:
- Rumpun Model Interaksi Sosial[11]
No
|
Model
|
Tokoh
|
Tujuan
|
1.
|
Penentuan Kelompok
|
Herbert
Telen dan John Dewey
|
Perkembangan keterampilan
untuk partisipasi dalam proses sosial demokratis melalui penekanan yang
dikombinasikan pada keterampilan-keterampilan antar-pribadi (kelompok) dan
keterampilan-keterampilan penentuan akademik. Aspek perkembangan pribadi
merupakan hal yang penting dalam model ini.
|
2.
|
Inkuiri Sosial
|
Byron
Massialas dan Benjamin Cox
|
Pemecahan
masalah sosial, terutama melalui penemuan sosial dan penalaran logis.
|
3.
|
Metode Laboratori
|
Bethel
Maine (National Teaching Library)
|
Perkembangan
keterampilan antarpribadi dan kelompok melalui kesadaran dan keluwesan
pribadi.
|
4.
|
Jurisprudensial
|
Donald
Oliver dan James P. Shaver
|
Dirancang
terutama untuk mengajarkan kerangka acuan yurisprudensial sebagai cara
berpikir dan penyelesaian isu-isu sosial.
|
5.
|
Bermain Peran
|
Fainnie
Shatel dan George Fhatel
|
Dirancang
untuk memengaruhi siswa agar menemukan nilai-nilai pribadi dan sosial.
Perilaku dan nilai-nilainya diharapkan anak menjadi sumber bagi penemuan
berikutnya.
|
6.
|
Simulasi Sosial
|
Sarene
Bookock dan Harold Guetzkov
|
Dirancang
untuk membantu siswa mengalami bermacam-macam proses dan kenyataan sosial,
dan untuk menguji reaksi mereka, serta untuk memperoleh konsep keterampilan
pembuatan keputusann.
|
- Rumpun Model Pemrosesan Informasi[12]
No.
|
Model
|
Tokoh
|
Tujuan
|
1.
|
Model
Berpikir Induktif (Berorientasi pada Klasifikasi)
|
Hilda
Taba
(Bruce Joyce)
|
Dirancang
untuk pengembangan proses mental induktif dan penalaran akademik/pembentukan
teori.
|
2.
|
Model
Latihan Inkuiri (inquiry training)
|
Richard
Suchman
(Howard Jones)
|
Pemecahan
masalah sosial, terutama melalui penemuan sosial dan penalaran logis.
|
3.
|
Inkuiri
Ilmiah/
Penelitian Ilmiah (scientific inquiry)
|
Joseph.
J. Schwab
|
Dirancang
untuk mengajar sistem penelitian dari suatu disiplin, tetapi juga diharapkan
untuk mempunyai efek dalam kawasan-kawasan lain (metode-metode sosial mungkin
diajarkan dalam upaya meningkatkan pemahaman sosial dan pemecahan masalah
sosial).
|
4.
|
Penemuan
Konsep
|
Jerome
Bruner
(Fred
Lightfall)
(Tennyson
dan Corchiarella)
(Bruce Joyce)
|
Dirancang
terutama untuk mengembangkan penalaran induktif, juga untuk perkembangan dan
analisis konsep.
|
5.
|
Pertumbuhan
Kognitif
|
Jean
Piaget
Irving
Sigel
Edmund
Sullvan
Lawrence Kohlberg
|
Dirancang
untuk memengaruhi siswa agar menemukan nilai-nilai pribadi dan sosial.
Perilaku dan nilai-nilainya diharapkan anak menjadi sumber bagi penemuan
berikutnya.
|
6.
|
Model
Penata Lanjutan
|
David
Ausubel
|
Dirancang
untuk meningkatkan efisiensi kemampuan pemrosesan informasi untuk menyerap
dan mengaitkan bidang-bidang pengetahuan.
|
7.
|
Memori
|
Harry
Lorayne
Jerry
Lucas
|
Dirancang
untuk meningkatkan kemampuan mengingat.
|
8.
|
Induktif Kata-Gambar
|
Emily
Calhoun
|
|
9.
|
Mnemonik
(Bantuan-bantuan Memori)
|
Michael
Pressley
Joe Levin
Richard
Anderson
|
|
10.
|
Sinektik
|
William
Gordon
|
|
11.
|
Advance Organizer[13]
|
David
Ausubel
(Lawton dan
Wanska)
|
|
- Rumpun Model Personal[14]
No.
|
Model
|
Tokoh
|
Tujuan
|
1.
|
Pengajaran
non-Direktif
|
Cari
Rogers
|
Penekanan
pada pembentukan kemampuan untuk perkembangan pribadi dalam arti kesadaran
diri, pemahaman diri, kemandirian, dan konsep diri.
|
2.
|
Latihan
Kesadaran
|
Fritz
Perls
Willian
Schultz
|
Meningkatkan
kemampuan seseorang untuk eksplorasi diri dan kesadaran diri. Banyak
menekankan pada perkembangan kesadaran dan pemahaman antarpribadi.
|
3.
|
Sinektik
|
William
Gordon
|
Perkembangan
pribadi dalam kreativitas dan pemecahan masalah kreatif.
|
4.
|
Sistem-sistem
Konseptual
|
David
Hunt
|
Dirancang
untuk meningkatkan kekompleksan dan keluwesan pribadi.
|
5.
|
Pertemuan
Kelas
|
William Glasser
|
Perkembangan
pemahaman diri dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan kelompok sosial.
|
- Rumpun Model Modifikasi Tingkah Laku (Behavioral)[15]
No.
|
Model
|
Tokoh
|
Tujuan
|
1.
|
Manajemen
Kontingensi
|
B. F.
Skinner
|
Fakta-fakta,
konsep, keterampilan
|
2.
|
Kontrol
Diri
|
B. F.
Skinner
|
Perilaku/keterampilan
sosial
|
3.
|
Relaksasi
(santai)
|
Rimn dan
Master Wolpe
|
Tujuan-tujuan
pribadi (mengurangi ketegangan dan kecemasan)
|
4.
|
Pengurangan
Ketegangan
|
Rimn dan
Master Wolpe
|
Mengalihkan
kesantaian kepada kecemasan dalam situasi sosial
|
5.
|
Latihan
Asertif Desensitasi
|
Wolpe,
Lazarus, Salter
|
Ekspresi
perasaan secara langsung dan spontan dalam situasi sosial.
|
6.
|
Latihan
Langsung
|
Gagne,
Smith dan Smith
|
Pola-pola
perilaku, keterampilan.
|
Selanjutnya saya akan menjelaskan sebab proses
lahirnya sebuah model pembelajaran. Model pembelajaran terlahir dari adanya
sudut pandang (paradigma) seseorang/ahli terhadap beberapa komponen berikut
ini:
1) Anak
2) Tujuan
Pendidikan
3) Cara
Belajar
4) Guru
5) Lingkungan
Sebagai sebuah contoh, adalah
pada rumpun model pembelajaran pemrosesan informasi (information-processing
models). Model lebih menekankan pada
cara-cara meningkatkan dorongan alamiah manusia untuk membentuk makna tentang
dunia (sense of the world). Hal ini terwujud dengan memperoleh dan
mengolah data, merasakan masalah-masalah dan menghasilkan solusi-solusi yang
tepat, serta mengembangkan konsep dan bahasa untuk mentransfer solusi/data
tersebut.
Beberapa model dalam kelompok
ini menyediakan informasi dan konsep pada para pembelajar, beberapa lagi menekankan
susunan konsep dan pengujian hipotesis, dan beberapa yang lain merancang cara
berpikir kreatif. Hanya sedikit model dalam kelompok ini yang dirancang untuk
meningkatkan kemampuan intelektual pada umumnya. Banyak model-model memproses
informasi berguna untuk mengamati diri sendiri dan masyarakat, dan karenanya
dapat kita terapkan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan sosial dalam
pendidikan.[16]
Terkait konsep di atas, pada
hakikatnya setiap individu (manusia) adalah makhluk pembelajar dalam setiap
konteks perkembangan budaya tertentu. Apabila semua guru memahami konsep ini,
akan muncul sebuah paradigma yang menimbulkan persepsi bahwa para siswa di
dalam kelas adalah para makhluk yang sebenarnya “siap” untuk belajar.[17]
Dengan demikian, pemrosesan informasi adalah hal mendasar yang ada pada diri
manusia sebagai makhluk yang berakal.
Dari penjelasan di atas dapat
dipahami bahwa rumpun ini memiliki sudut pandang yang khas terhadap komponen
pendidikan, berikut ini pemaparannya:
1) Anak
dipandang adalah makhluk yang ”siap” belajar, karena anak sudah memiliki
potensi akal sejak awal, dan akal inilah yang menjadi bagian dasar dari
komponen berpikir. Kemudian, anak didik tidaklah kosong sama sekali (akalnya),
namun sudah memiliki berbagai pengetahuan sebelumnya, yang nantinya dapat
dijadikan bahan untuk menghasilkan pengetahuan lainnya.
2) Tujuan
Pendidikan, melahirkan anak didik yang mampu menggunakan akalnya dengan
maksimal, mampu berpikir benar, mendalam, dan kreatif, mampu memahami makna
dunia (sense of the world).
3)
Cara Belajarnya adalah dengan
menghubungan pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang baru, sehingga
lahirlah sebuah pemahaman yang baru terhadap fakta yang baru. Selain itu cara
belajarnya dengan mengamati diri sendiri dan
masyarakat, dan karenanya model ini dapat diterapkan untuk mencapai
tujuan-tujuan pribadi dan sosial dalam pendidikan.
4) Guru
adalah fasilitator dan mediator, sekaligus pembimbing anak didik untuk
menggunakan fungsi akalnya dengan semaksimal mungkin, dan menjadi motivator
bagi anak didik dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kreatif anak didik.
5) Lingkungan
adalah pengetahuan-pengetahuan yang akan mempengaruhi sudut pandang siswa
terhadap sesuatu fakta yang baru ditemukannya, sehingga dalam model ini,
lingkungan yang baik akan menghasilkan anak didik yang baik, sebaliknya
lingkungan yang buruk akan menghasilkan anak didik yang buruk pula. Hal ini
dikarenakan, dari lingkunganlah anak didik mendapatkan pengetahuan sebelumnya,
yang mana pengetahuan sebelumnya ini menjadi bahan baku lahirnya pengetahuan
yang baru, dengan kata lain, bahan baku yang baik tentu akan menghasilkan
produk yang baik, sebaliknya, bahan baku yang jelek, akan menghasilkan produk
yang jelek pula.
Berikut ini adalah salah satu
contoh model pembelajaran rumpun pemrosesan informasi beserta aplikasinya dalam
pembelajaran:
Model Pembelajaran
Berpikir Induktif (Inductive
Thinking)
Keterampilan berpikir yang
mendasar adalah kemampuan dalam menganalisis informasi dan membuat konsep –
berpikir induktif (Inductive Thinking). Model yang dihadirkan di sini merupakan
penyesuaian dari kajian Hilda Taba (1966). Model ini berdasar pada peneliti
yang telah mengkaji bagaimana mengajari siswa dalam mencari dan mengolah
informasi, membuat dan menguji hipotesis yang menggambarkan hubungan antardata.
Model tersebut telah digunakan
dalam berbagai[18]
bidang kurikulum dan telah diterapkan pula pada siswa di seluruh tingkatan
umur, jadi tidak terbatas pada bidang ilmu pengetahuan saja. Analisis fonetik
(ling) dan struktural merupakan salah satu cara kerja dalam model ini,
tergantung pada pembelajaran konsep, seperti aturan-aturan gramatikal.
Misalnya, struktur bidang kesusastraan tergantung pada klasifikasi. Lalu,
kajian masyarakat, negara, dan sejarah mensyaratkan adanya pembelajaran konsep.
Kendatipun pembelajaran konsep
tidak terlalu penting dalam perkembangan pemikiran, pengolahan informasi sangat
fundamental pada bidang-bidang kurikulum yang mengutamakan model berpikir
induktif bagi materi pembelajaran dan pengajaran sekolah. Hal ini hanya mungkin
diwujudkan jika pembelajaran tentang konsep-konsep dapat diterapkan dengan
baik.[19]
Secara singkat model ini
merupakan strategi mengajar untuk mengembangkan keterampilan berpikir siswa.
Model ini dikembangkan atas dasar beberapa postulat (dalil) sebagai berikut:
1)
Kemampuan
berpikir dapat diajarkan.
2)
Berpikir
merupakan suatu transaksi aktif antara individu dengan data. Artinya, dalam setting
kelas, bahan ajar merupakan sarana bagi siswa untuk mengembangkan operasi
kognitif tertentu. Dalam kondisi tersebut
siswa belajar mengorganisasikan fakta ke dalam suatu sistem konsep, yaitu (a)
menghubung-hubungkan data yang diperoleh satu sama lain serta membuat
kesimpulan berdasarkan hubungan-hubungan tersebut, (b) menarik kesimpulan
berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahuinya dalam rangka membangun
hipotesis, dan (c) memprediksi dan menjelaskan suatu fenomena tertentu. Guru,
dalam hal ini dapat membantu proses internalisasi dan konseptualisasi
berdasarkan informasi tersebut.
3)
Proses
berpikir merupakan suatu urutan dengan tahapan yang beraturan (lawful).
Artinya, agar dapat menguasai keterampilan berpikir tertentu, prasyarat
tertentu harus dikuasai terlebih dahulu, dan urutan tahapan ini tidak bisa
dibalik. Oleh karena itu, konsep tahapan beraturan ini memerlukan strategi
mengajar tertentu agar dapat dapat mengendalikan tahapan-tahapan tersebut.
Berikut
ini adalah prosedur pembelajaran dan aplikasi model pembelajaran berpikir induktif
(inductive thinking) yang
penulis kutip langsung dari buku karangan Hamzah B. Uno:
1) Prosedur Pembelajaran
Postulat yang diajukan Taba
di atas menyatakan bahwa keterampilan berpikir harus diajarkan dengan
menggunakan strategi khusus. Menurutnya, berpikir induktif melibatkan tiga
tahapan dan karenanya ia mengembangkan tiga strategi cara mengajarkannya.
Strategi pertama adalah pembentukan konsep (concept formation)
sebagai strategi dasar; kedua, interpretasi data (data interpretation)
dan ketiga adalah penerapan prinsip (aplication of principles).[20]
Strategi 1: Pembentukan Konsep
Tahapan pertama dalam
strategi pembentukan konsep ini terdiri dari tiga langkah, yaitu:
a)
Mengidentifikasi data
yang relevan dengan permasalahan,
b)
Mengelompokkan data
atas dasar kesamaan karakteristik, dan
c)
Membuat kategori
serta memberi label pada kelompok-kelompok data yang memiliki kesamaan
karakteristik.
Strategi 2: Interpretasi Data
Strategi kedua ini merupakan cara mengajarkan
bagaiman menginterpretasi dan menyimpulkan data. Sama halnya dengan strategi
pertama (pembentukan konsep), cara ini dapat dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tertentu.
Sebagai langkah pertama, guru dapat mengajukan
pertanyaan yang dapat mendorong siswa agar dapat mengidentifikasi aspek-aspek
tertentu dari suatu data. Sebagai contoh, setelah siswa membaca bahasan tentang
sistem ekonomi Afrika Selatan, Inggris, dan Jerman, guru mengajukan pertanyaan,
”Aspek-aspek apa saja yang menjadi tulang punggung sistem ekonomi ketiga negara
tersebut?”
Berikutnya guru meminta siswa untuk menjelaskan
berbagai informasi yang diperolehnya dan menghubungkan antara yang satu dengan
yang lainnya. Pertanyaan yang diajukan kali ini menekankan pada
pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan sebab akibat. Sebagai contoh, ”Apakah
menurut kalian sistem ekonomi ketiga negara tersebut sama atau berbeda? Mengapa?”
atau ”Apakah sistem ekonomi ketiga negara tersebut didasarkan atas hal yang
sama? Jika ya, apa yang membuat sistem ekonomi antara ketiga negara tersebut
sama dan apa yang membuatnya berbeda?”.
Langkah ketiga adalah membuat kesimpulan. Pada
bagian ini, guru dapat mengajukan pertanyaan ”Jika demikian, aspek apa saja
yang dapat menjadi dasar sistem ekonomi suatu negara?”.
Strategi 3: Pembelajaran Prinsip
Strategi ketiga merupakan
kelanjutan dari strategi pertama dan kedua. Setelah siswa dapat merumuskan suatu
konsep, menginterpretasikan, dan menyimpulkan data, selanjutnya mereka
diharapkan dapat menerapkan suatu prinsip tertentu ke dalam situasi
permasalahan yang berbeda. Atau siswa diharapkan dapat menerapkan suatu prinsip
untuk menjelaskan suatu fenomena baru.
Langkah pertama yang harus
diajukan guru adalah mengajukan suatu[21]permasalahan
baru. Pada bagian ini guru dapat mengajukan pertanyaan, ”Apa yang akan terjadi
jika Pak Dudung tidak memiliki seperangkat komputer di meja kasir toko
swalayannya?” Langkah berikutnya adalah meminta siswa untuk menjelaskan
prediksi atau hipotesisnya. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah, ”Menurut
Anda mengapa hal tersebut dapat terjadi?” Langkah terakhir adalah meminta siswa
untuk menjelaskan dasar teori/argumen yang memperkuat hipotesisnya. Pada bagian
ini, siswa diminta menggunakan logika dengan memanfaatkan data dan informasi
pendukung yang cukup dan akurat. Untuk
kebutuhan ini, pertanyaan yang dapat diajukan guru adalah, ”Apa alasan yang
dapat memperkuat hal tersebut terjadi?”.
2) Aplikasi
Model pembelajaran ini
ditujukan untuk membangun mental kognitif. Karenanya sangat sesuai untuk
mengembangkan kemampuan berpikir. Namun demikian, strategi ini sangat
membutuhkan banyak informasi yang harus digali oleh siswa. Kelebihan lain dari
model ini, selain sangat sesuai untuk social study, juga dapat digunakan
untuk semua mata pelajaran, seperti sains, bahasa, dan lain-lain. Satu hal lagi
yang tidak kalah penting,
model ini juga secara tidak langsung dapat mengembangkan kemampuan berpikir
kreatif.[22]
- Landasan filosofi, psikologis dan sosiologis memiliki implikasi terhadap pengembangan teori pendidikan dan selanjutnya juga berimplikasi pada pengembangan teori belajar dan model pembelajaran, jelaskan maksudnya, kemukakan contohnya!
Jawab:
Sebagaimana penjelasan saya tentang sebab proses
lahirnya sebuah model pembelajaran. Di mana model pembelajaran terlahir dari
adanya pengaruh sudut pandang (paradigma) seseorang/ahli terhadap beberapa
komponen, yaitu: (1) Anak, (2) Tujuan Pendidikan, (3) Cara Belajar, (4) Guru,
dan (5) Lingkungan.
Adapun sudut pandang yang melandasinya bisa berasal
dari pandangan filosofi, psikologis dan sosiologis yang berkembang di tengah
dunia pendidikan. Ada beragam pandangan filosofis, psikologis dan sosiologis
yang mempengaruhi model-model pembelajaran tersebut. Akhirnya, model-model
pembelajaran pun memiliki corak dan ciri khas yang beragam pula.
Sama dengan model pembelajaran yang dipengaruhi oleh
berbagai pandangan, teori pembelajaran juga demikian. Padahal, model
pembelajaran dipengaruhi oleh teori pembelajaran. Dengan demikian, pandangan
yang digunakan dalam melahirkan teori pembelajaran, akan berpengaruh juga
terhadap model pembelajarannya.
Sebagai contohnya adalah pandangan dari sudut
pandang psikologis berikut ini:
Dalam pandangan psikologis yang
dikemukakan oleh Piaget, tahap-tahap perkembangan manusia adalah sebagai
berikut:
1.
Tahap Sensorimotor (pada
Saat Lahir hingga Usia 2 Tahun), selama tahap ini, bayi dan anak kecil
menjajaki dunia mereka dengan menggunakan indera mereka dan kemampuan motor
mereka.
2.
Tahap Praoperasional (Usia
2 hingga 7 Tahun), anak prasekolah ini mampu memikirkan segala sesuatu dan
dapat menggunakan simbol untuk melambangkan objek dalam pikirannya. Selama
tahap ini, bahasa dan konsep anak-anak berkembang dengan kecepatan luar biasa.
3.
Tahap Operasional Konkret
(Usia 7 hingga 11), anak-anak pada tahap ini dapat membentuk konsep, melihat
hubungan, dan memecahkan masalah, tetapi hanya sejauh mereka melibatkan objek
dan situasi yang sudah dikenal.
4.
Tahap Operasional Formal
(Usia 11 hingga Dewasa)[23],
pada tahap ini manusia sanggup berpikir abstrak dan melihat
kemungkinan-kemungkinan melampaui di sini dan sekarang.
Dengan adanya
pandangan-pandangan di atas, maka teori Piaget ini berimplikasi Terhadap Pendidikan,
yaitu:
1.
Fokus pada proses
pemikiran anak-anak, bukan hanya hasilnya. Selain memeriksa ketepatan jawaban
anak-anak, guru harus memahami proses yang digunakan anak-anak untuk sampai
pada jawaban tersebut
2.
Pengakuan terhadap peran
penting perkembangan aktif yang dimulai oleh anak sendiri dalam kegiatan
pembelajaran.
3.
Tidak menekankan praktik
yang ditujukan untuk menjadikan anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikiran
mereka.
4.
Penerimaan perbedaan
masing-masing orang dalam kemajuan perkembangan. Teori Piaget beranggapan bahwa
semua anak mengalami urutan perkembangan yang sama tetapi dengan kecepatan yang
berbeda.[24]
Dengan adanya pandangan di
atas, akhirnya melahirkan model pembelajaran yang disebut model ”Pertumbuhan
Kognitif”, di mana model ini merupakan bagian dari rumpun model pemrosesan
informasi. Kemudian, model ini dirancang untuk memengaruhi siswa agar menemukan
nilai-nilai pribadi dan sosial. Perilaku dan nilai-nilainya diharapkan anak
menjadi sumber bagi penemuan berikutnya.
Dalam praktiknya anak didik,
diajarkan berdasarkan perkembangan psikologisnya dan perkembangan kognitifnya,
sehingga pembelajaran pada anak di sekolah dasar berbeda dengan pembelajaran
yang ada di sekolah atas. Tentunya hal ini mempengaruhi seluruh komponen
pembelajaran lainnya, dikarenakan semua komponen harus sejalan dan serasi
berdasarkan sudut pandang yang digunakan.
- Berdasarkan kajian terhadap model-model pembelajaran, menurut Anda model apa yang tepat dalam mengembangkan pembelajaran PAI pada madrasah di Indonesia!
Jawab:
Sekedar diketahui model-model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Berdasarkan teori
pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.
b.
Mempunyai misi dan tujuan
pendidikan tertentu.
c.
Dapat dijadikan pedoman
untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas.
d.
Memiliki bagian-bagian
model yang dinamakan: (a) urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax);
(b) adanya prinsip-prinsip reaksi; (c) sistem sosial; dan (d) sistem pendukung.
e.
Memiliki dampak sebagai
akibat terapan model pembelajaran.
f.
Membuat persiapan mengajar
(desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.
Dari ciri-ciri di atas, dapat dipahami bahwa model sangat bergantung dengan
kondisi yang dialami oleh madrasah tersebut diwaktu berlangsung pendidikan di
sana. Jadi, Saya berpendapat bahwa model yang tepat untuk digunakan di Madrasah
yang ada di Indonesia adalah tergantung dari keadaan terbaru yang mempengaruhi komponen
pendidikan yang ada. Keadaan yang mempengaruhi bisa berupa keadaan siswa,
tujuan yang ingin diraih, keadaan lingkungan dan sebagainya.
Sebagai contoh, pada pembelajaran akidah dan akhlak, model yang cocok
digunakan pada siswa kelas atas (SMA) adalah model instruksional. Model ini terdiri
atas empat komponen yang secara hakiki berbeda satu sama lain. Model tersebut
menitikberatkan pembuatan keputusan intelektual oleh guru sebelum dan sesudah
pengajaran dan oleh karenanya, sebenarnya lebih berupa suatu model perencanaan
dan penilaian daripada suatu model ”prosedur mengajar”. Pertama menentukan
tujuan-tujuan instruksional secara spesifik dalam bentuk perilaku siswa. Kedua,
mengadakan penilaian-pendahuluan terhadap keadaan siswa pada saat ini dalam
hubungannya dengan tujuan-tujuan instruksional tersebut. Dan ketiga, menilai
pencapaian tujuan-tujuan tersebut oleh siswa. Komponen-komponen untama dari
model instuksional dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Bagan 1. Model
Instruksional yang Beracuan Tujuan[25]
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat beberapa alasan yang menyebabkan
dipilihnya model instruksional ini dalam pembelajaran akidah akhlak, alasannya
adalah:
1) Akidah akhlak merupakan materi
pemahaman yang membutuhkan pemikiran yang mendalam dalam memahaminya, terlebih
lagi pada tingkatan SMA, materi akidah bisa menjadi kajian kritis bagi mereka.
Sehingga, dalam pembelajarannya perlu bimbingan dan arahan dari guru dalam
memahaminya.
2) Siswa kelas atas (SMA)
merupakan siswa yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi, sehingga ketika
diperintahkan menyelesaikan tugas, lebih mudah untuk melaksanakannya,
dikarenakan kemampuan belajarnya yang sudah bagus.
3) Akidah akhlak merupakan materi
pemikiran dan pemahaman yang harus terarah, oleh karena itulah tujuan
instruksional menjadi hal penting yang harus ditetapkan di awal pembelajaran.
Hal ini disebabkan pentingnya sistematika pembahasan dan terarahnya
pembelajaran dalam materi akidah akhlak, agar materi pokok bisa disampaikan
sepenuhnya.
- Coba Anda kemukakan perbedaan model kooperatif, integrated, berbasis masalah, dan inquiri!
Jawab:
Ø Dari konsep
dasarnya:
a.
Model Kooperatif, didasari oleh teori
konstuktivisme. Pada teori ini anak didik secara individual menemukan dan
mentransformasikan informasi uang kompleks, memeriksa informasi dengan aturan
yang ada dan merevisinya bila perlu. Kemudian, dalam paham konstruktivisme ini
interaksi antara anak didik dengan guru, anak didik dengan anak didik dan guru
dengan anak didik harus seimbang. Oleh karena itulah, agar adanya interaksi
yang seimbang, di dalam pembelajarannya ditekankan pembentukan kelompok
belajar.
Pembelajaran
kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari
empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
b.
Model Integrated (terpadu), merupakan suatu pendekatan dalam
pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik dalam intra
mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Dengan adanya pemaduan itu, siswa
akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh, sehingga pembelajaran
menjadi bermakna bagi siswa. Bermakna disini memberikan arti bahwa pada
pembelajaran terpadu siswa akan dapat memahami konsep-konsep yang mereka
pelajari melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan antar konsep
dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Pembelajaran terpadu
tipe integrated (keterpaduan) adalah tipe pembelajaran terpadu yang menggunakan
pendekatan antar bidang studi, menggabungkan bidang studi dengan cara
menetapkan prioritas kurikuler dan menemukan keterampilan, konsep dan sikap
yang saling tumpang tindih dalam beberapa bidang studi (Fogarty, 1991: 76).[26]
c.
Model Berbasis Masalah,
menurut Ivor Davis (2000), “salah satu kecenderungan yang sering dilupakan
adalaha melupakan bahwa hakikat pembelajaran adalah belajarnya siswa dan bukan
mengajarnya guru”. Model ini lahir dipengaruhi oleh perkembangan zaman di abad
21 ini, di abad modern ini, anak didik dituntut untuk lebih dewasa dalam
menghadapi masa depan. Pendidikan harus membantu perkembangan terciptanya individu
yang kritis dengan tingkat kreatifitas yang sangat tinggi dan tingkat
keterampilan berpikir yang lebih tinggi
pula.
d.
Model Inquiri, memandang
bahwa manusia adalah makhluk berakal yang mampu memahami masalah dan menemukan
solusi atas masalah tersebut. Manusia selalu memikirkan solusi dari berbagai
masalah yang dihadapinya. Kemudian, menurut Sofa (2008) pendekatan inquiry
adalah pendekatan mengajar di mana anak didik merumuskan masalah, mendesain
eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data sampai mengambil keputusan
sendiri. Pada tahapan discovery, anak
didik memiliki perkembangan mental seperti, mengamati, mengukur, menggolongkan,
menduga, men-jelaskan, dan mengambil kesimpulan. Sedangkan, keterampilan mental yang dituntut dalam model inquiry ini lebih tinggi dari discovery antara
lain: merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data,
dan mengambil kesimpulan.
Dengan adanya perkembangan mental seperti ini, maka manusia akan selalu
berkembang dari masa ke masa, dan manusia akan terus menjalani kehidupan ini
dengan cara baru yang lebih kreatif dan inovatif.
Ø Karakteristik
model pembelajarannya:
a. Model Kooperatif, proses pembelajarannya
lebih menekankan pada proses kerja sama dalam kelompok. Ciri-ciri pembelajaran
kooperatif adalah: (1) pembelajaran secara tim, (2) didasarkan pada manajemen
kooperatif, (3) kemauan untuk bekerja sama, dan (4) keterampilan bekerja sama,.
b.
Model
Integrated, Karakteristik Model Integrated Model pembelajaran terpadu ini
menggunakan pendekatan antar mata pelajaran. Model ini diusahakan dengan cara
menggabungkan beberapa mata pelajaran yaitu dengan menetapkan prioritas dari
kurikulum dan menemukan keterampilan, konsep dan sikap yang saling tumpang
tindih di dalam beberapa mata pelajaran. Model pembelajaran integrated
(terpadu) mempunyai ciri khusus yakni memadukan sejumlah topik dari mata
pelajaran yang berbeda tetapi inti topiknya sama. Pada model ini tema yang
berkaitan dan tumpang tindih merupakan hal terakhir yang ingin dicari dan
dipilih oleh guru dalam tahap perencanaan program. Pertama kali guru menyeleksi
konsep-konsep, keterampilan dan sikap yang diajarkan dalam satu semester dari
beberapa bidang studi, selanjutnya dipilih beberapa konsep, keterampilan, dan
sikap yang memiliki keterhubungan yang erat dan tumpang tindih di antara
berbagai bidang studi. Pada model ini terdapat team teching yang berasal dari
beberapa mata pelajaran berbeda namun memiliki tema yang tumpang
tindih(overlap). Dalam tahap ini, guru yang tergabung haruslah kompak serta memiliki
skill yang tinggi. Tahap ini juga dapat membangun rasa percaya diri dan
kepercayaan sebagai perancang model(Forgaty 1991:78)
c.
Model
Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah suatu proses pembelajaran yang
diawali dari masalah-masalah yang ditemukan dalam suatu lingkungan pekerjaan.
Problem Based Learning (PBL) adalah lingkungan belajar yang di dalamnya
menggunakan masalah untuk belajar. Yaitu, sebelum pebelajar mempelajari suatu
hal, mereka diharuskan mengidentifikasi suatu masalah, baik yang dihadapi
secara nyata maupun telaah kasus. Masalah diajukan sedemikian rupa sehingga
para pebelajar menemukan kebutuhan belajar yang diperlukan agar mereka dapat
memecahkan masalah tersebut. PBL juga ada yang menerapkan sebagai sebuah metode
pendidikan.
Problem Based Learning adalah
proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam
kehidupan nyata dan lalu dari masalah ini anak didik dirangsang untuk mempelajari masalah ini berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior
knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk
pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil
merupakan poin utama dalam penerapan PBL.
Adapun karakteristik
pembelajaran berbasis masalah ini adalah sebagai berikut:
1)
Permasalahan
menjadi starting point dalam belajar.
2)
Permasalahan
yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak
terstruktur.
3)
Permasalahan yang membutuhkan perspektif ganda (multiple
perspective).
4)
Permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki
oleh anak didik, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi
kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar.
5)
Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama.
6)
Pemanfaatan
sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi
merupakan proses yang esensial dalam PBM.
7)
Pengembangan
keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan
isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan.
8)
Keterbukaan
proses dalam PBM meliputi sistesis dan integrasi dari sebuah proses belajar.
d.
Model Inquiri, menurut
Sofa (2008) pendekatan inquiry adalah
pendekatan mengajar di mana siswa merumuskan masalah, mendesain eksperimen,
mengumpulkan dan menganalisis data sampai mengambil keputusan sendiri.
Sedangkan Pendekatan discovery
merupakan pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental, seperti mengamati,
mengukur, menggolongkan, menduga, men-jelaskan, dan mengambil kesimpulan.
Pada kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah
dan siswa disuruh memecahkan masalah melalui percobaan. Pada pendekatan inquiry, siswa mengajukan masalah
sendiri sesuai dengan pengarahan guru. Keterampilan mental yang dituntut lebih
tinggi dari discovery antara lain: merancang dan melakukan percobaan,
mengumpulkan dan menganalisis data, dan mengambil kesimpulan.
Ø Dari
prinsip-prinsip pembelajarannya:
a.
Model Kooperatif, menurut Roger dan David Johnson
(Lie, 2008) ada lima unsur model kooperatif, yaitu: (1) prinsip ketergantungan
positif, (2) tanggung jawab perseorangan, (3) interaksi tatap muka, (4)
partisipasi dan komunikasi, dan (5) evaluasi proses kelompok.
b.
Model Integrated, Model pembelajaran integrated (terpadu) mempunyai
ciri khusus yakni memadukan sejumlah topik dari mata pelajaran yang berbeda
tetapi inti topiknya sama. Dengan harapan anak didik akan memiliki
kemampuan yang utuh terhadap suatu permasahan, hal ini disebabkan adanya kajian
yang lengkap dengan berbagai sudut pandang terhadap permasalahan tersebut.
c.
Model Berbasis Masalah, prinsipnya adalah:
1) Kebutuhan siswa untuk menyelesaikan masalah
autentik, masalah open-ended dengan banyaknya jawaban yang benar.
2) Masalah autentik berasal dari ilmuwan,
doktor, insinyur, ahli hukum, pendidik, administrator, dan konselor.
3) Penekanan pada pengetahuan awal siswa,
“dimulai dengan apa yang siswa ketahui”.
4) Siswa secara aktif berpartisipasi dalam
merencanakan, mengorganisasi, dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
5) Hubungan interdisiplin sangat kuat
6) Siswa bermain peran secara autentik
d.
Model Inquiri, adalah proses yang penting dalam
pembelajaran agar retensinya kuat dan munculnya kepuasan tersendiri dalam benak
siswa dibandingkan hanya melalui pewarisan. Dengan menemukan kemampuan
berpikir mandiri (kognitif tingkat tinggi, kritis, kreatif, inovatif, dan
improvisasi) akan terlatih yang pada kondisi selanjutnya menjadi terbiasa.
Inkuiri mempunyai siklus observasi, bertanya, menduga, kolekting, dan konklusi.
Menurut Tabrani (1992
dalam Turisina, 2006), bahwa syarat utama metode penemuan ada pada potensi yang
dimiliki oleh siswa itu sendiri. Potensi itu
meliputi: kemandirian siswa dalam data, keaktifan dalam memecahkan
masalah, kepercayaan pada diri sendiri. Menurut Sofa (2008) bahwa Pendekatan inquiry harus memenuhi empat kriteria ialah (1) kejelasan, (2) kesesuaian, (3) ketepatan dan (4) kerumitannya.
meliputi: kemandirian siswa dalam data, keaktifan dalam memecahkan
masalah, kepercayaan pada diri sendiri. Menurut Sofa (2008) bahwa Pendekatan inquiry harus memenuhi empat kriteria ialah (1) kejelasan, (2) kesesuaian, (3) ketepatan dan (4) kerumitannya.
Ø Dari
prosedur-prosedur pembelajarannya:
a.
Model Kooperatif, pada prinsipnya ada 4 (empat)
tahap, yaitu: (1) penjelasan materi, (2) belajar kelompok, (3) penilaian, dan
(4) pengakuan tim.
b.
Model Integrated, Langkah – langkah pembelajaran Integrated Pada
tahap awal guru hendaknya membentuk tim antar bidang studi untuk menyeleksi
konsep-konsep, keterampilan-keterarnpilan, dan sikap-sikap yang akan dibelajarkan
dalam satu semester tertentu untuk beberapa bidang studi, Langkah berikutnya
dipilih beberapa konsep, keterampilan, dan sikap yang mernpunyai keterhubungan
yang erat dan tumpang tindih di antara beberapa bidang studi. Bidang studi yang
diintegrasikan misal matematika seni dan bahasa, dan pelajaran sosial. Fokus
pengintegrasian pada sejumlah keterampilan belajar yang ingin dilatihkan oleh
seorang guru kepada siswanya dalam suatu unit pembelajaran untuk ketercapaian
materi pelajaran (content). Keterampilan-keterampilan belajar itu menurut
Fogarty (1991: 77), meliputi keterampilan berpikir (thinking skill),
keterampilan sosial (social skill), dan keterampilan mengorganisir (organizing
skill). Selanjutnya adalah langkah-langkah dalam model Integrated, langkah guru
merancang program rencana pembelajaran dengan mengadakan penjajakan tema dengan
cara curah pendapat (brain stroming). Tahap pelaksanaan melakukan
kegiatan: Proses pengumpulan informasi Pengelolaan informasi dengan cara
analisis komparasi dan sintesis Penyusunan laporan dapat dilakukan dengan cara
verbal, gravisi, pictorial, audio, gerak, dan model Tahap kulmunasi
dilakukan dengan: Penyajian laporan (tertulis, oral, unjuk kerja, produk).
c.
Model Berbasis Masalah, langkah-langkahnya adalah:
1) Siswa dibagi dalam kelompok
2) Masalah nyata dipresentasikan dan
dikiskusikan
3) Siswa mengidentifikasi apa yang diketahui,
informasi apa yang dibutuhkan, strategi apa atau langkah berikutnya untuk
diambil
4) Individu meneliti hal yang berbeda dengan
sumber yang sama
5) Sumber masalah dievaluasi dalam kelompok
6) Siklus berulang terus menerus sampai siswa
merasakan bahwa masalah telah disampaikan dengan cukup dan semua masalah telah
disampaikan.
7) Kemungkinan tindakan, rekomendasi, solusi,
atau hipotesis dibangun.
8) Tutor kelompok atau teman sebaya.
Adapun menurut Deodiknas
dalam “akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2009/04/16_pengembangan-model-pembelajaran-ctl-smp-2006.ppt”
bahwa Sintaks
Model Pembelajaran PBL/PBI adalah:
Fase-Fase
|
Prilaku Guru
|
Fase I
Orientasi siswa pada masalah
Fase II
Mengorganisasi siswa untuk belajar
Fase III
Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
Fase IV
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Fase V
Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
• Menjelaskan tujuan, logistik yang dibutuhkan
• Memotivasi siswa terlibat aktif pemecahan masalah yang dipilih
• Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhub dengan Masalah tersebut
• Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
• Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan, model dan berbagi tugas dengan teman
• Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yg tlh dipelajari /meminta
kelompok presentasi hasil kerja
|
d.
Model Inquiri, ini merupakan proses
perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, dan siswa belajar menggunakan
keterampilan berpikir kritis. Adapun fase-fasenya berdasarkan Sofa (2007)
adalah:
Setelah guru mengundang
siswa untuk mengajukan masalah yang erat hubungannya dengan pokok bahasan yang
akan diajarkan, siswa akan terlibat dalam kegiatan inquiry dengan melalui 5
fase ialah:
Fase 1 : Siswa menghadapi
masalah yang dianggap oleh siswa memberikan tantangan untuk diteliti.
Fase 2: Siswa melakukan
pengumpulan data untuk menguji kondisi, sifat khusus dari objek teliti dan
pengujian terhadap situasi masalah yang dihadapi.
Fase 3: Siswa mengumpulkan data untuk memisahkan
variabel yang relevan, berhipotesis dan bereksperimen untuk menguji hipotesis
sehingga diperoleh hubungan sebab akibat.
Fase 4: Merumuskan penemuan
inquiry hingga diperoleh penjelasan, pernyataan, atau prinsip yang lebih formal.
Fase 5: Melakukan analisis
terhadap proses inquiry, strategi yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Analisis
diperlukan untuk membantu siswa terarah pada mencari sebab akibat.
- Berdasarkan telaah terhadap model desain pembelajaran, model desain pembelajaran yang bagaimana yang tepat untuk mata pelajaran PAI di sekolah!
Jawab:
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, istilah model dapat diartikan sebagai tampilan grafis, prosedur kerja yang teratur
atau sistematis, serta mengandung pemikiran bersifat uraian atau penjelasan
berikut saran. Uraian atau penjelasan menunjukkan bahwa suatu model disain
pembelajaran menyajikan bagaimana suatu pembelajaran dibangun atas dasar
teori-teori seperti belajar, pembelajaran, psikologi, komunikasi, sistem, dan
sebagainya. Tentu saja semua mengacu pada bagaimana penyelenggaraan proses
belajar dengan baik. Sebagai saran, disain pembelajaran mengandung aspek
bagaimana sebaiknya pembelajaran diselenggarakan atau diciptakan melalui
serangkaian prosedur serta penciptaan lingkungan belajar. Selain itu, disain
pembelajaran terdiri atas kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan untuk suatu
proses belajar.[28]
Selain itu, pada masa sekarang
ini, pendidikan agama dituntut tidak hanya memberikan pemahaman yang mendalam
tentang agama, melainkan juga harus memberikan kontribusi kepada masyarakat
dalam membentuk karakter mulia. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk
memenuhi tuntutan ini, namun belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Terkait hal tersebut, saya juga membaca sebuah jurnal
tentang model pembelajaran pendidikan agama berbasis karakter mulia yang
holistic, humanis, emansipatorik dan efektif, dengan langkah-langkahnya: Modelling,
reflecting, deep discussion, problem solving, socialization dan authentic
assessment. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif deskriptif pada
Madrasah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ternyata model pembelajaran
ini sudah dilaksanakan, dan hasilnya ternyata cukup efektif dalam membentuk
akhlak mulia. Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, walaupun belum melaksanakan
model pembelajaran tersebut secara sistematik dan terkonsolidatif, namun telah
membawa hasil pembelajaran yang memenuhi harapan masyarakat. Karenanya, model
pembelajaran yang demikian itu perlu diperkuat dan diterapkan pada lembaga
pendidikan lainnya.
Kemudian, berdasarkan pembahasan model desain
pembelajaran yang telah dilaksanakan diperkuliahan, saya berpendapat bahwa
model desain pembelajaran yang tepat untuk mata pelajaran PAI adalah Model
Gerlach dan Ely. Alasannya adalah model pembelajaran Gerlach dan Ely
merupakan suatu metode perencanaan pengajaran yang sistematis. Model ini
menjadi suatu garis pedoman atau suatu peta perjalanan pembelajaran karena
dalam model ini diperlihatkan keseluruhan proses belajar mengajar yang baik,
sekalipun tidak menggambarkan secara rinci setiap komponennya. Dalam model ini
juga diperlihatkan hubungan antara elemen yang satu dengan yang lainnya serta
menyajikan suatu pola urutan yang dapat dikembangkan dalam suatu rencana untuk
mengajar.
Menurut Rusman[29]
model ini cocok digunakan di segala kalangan termasuk untuk pendidikan
tingkat tinggi, sebab dalam model ini:
1.
Terdapat penentuan strategi yang cocok
digunakan oleh peserta didik dalam menerima materi yang disampaikan.
2.
Menetapkan pemakaian teknologi pendidikan
sebagai media dalam penyampaian materi.
3.
Adanya upaya untuk menggambarkan secara
grafis, suatu metode perencanaan yang sistematis.
4.
Merupakan suatu garis pedoman atau peta
perjalanan yang hendaknya digunakan sebagai checklist dalam membuat
sebuah rencana pembelajaran.
5.
Memperlihatkan keseluruhan PBM yang baik
sekalipun tidak menggambarkan perincian setiap komponen.
6.
Memperlihatkan hubungan antara elemen yang
satu elemen lainnya.
7.
Menyajikan suatu pola urutan yang dapat
dikembangkan ke dalam suatu rencana kegiatan pembelajaran.
Kelebihan model pengembangan desain instruksional
pembelajaran Gerlach dan Ely: (1) Sangat teliti dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran, (2) Cocok digunakan untuk segala kalangan.
Sedangkan, kekurangan model pengembangan desain instruksional pembelajaran
Gerlach dan Ely, yaitu: (1) Terlalu panjangnya prosedur perancangan desain
pembelajaran, (2) Tidak adanya tahapan pengenalan karakteristik siswa.
- Uraikan kriteria penetapan isi pembelajaran, dan prinsip apa saja menurut Anda dalam pemilihan model pembelajaran PAI yang seharusnya dikembangkan!
Jawab:
Berdasarkan kiat-kiat
membimbing anak menjadi cerdas dan berbudi menurut Hamdan Rajiih dalam bukunya
yang berjudul ”Cerdas Akal dan Cerdas Hati” adalah:
- Mengajarkan anak Alquran sejak dini, bahkan sejak di dalam kandungan.
- Melatih pelaksanaan sholat.
- Melatih berpuasa.
- Melatih pelaksanaan ibadah haji.
- Mengajak anak bermain.
- Memanfaatkan metode dakwah Nabi Saw., yaitu:
a.
Pendekatan keteladanan.
b.
Maksimalisasi pemanfaatan
kesempatan bersama anak, yaitu: ketika sedang makan, ketika sedang rekreasi,
dan ketika sedang sakit.
c.
Bersikap adil di antara
anak-anak.
d.
Mendoakan kebaikan untuk
anak.
e.
Menyentuh dan mengaktifkan
potensi berpikir anak, yaitu: melalui cerita dan hikayat, berbicara sesuai
tingkat kemampuan anak, dan komunikasi langsung.
f.
Menyentuh dan
mengembangkan mental anak, yaitu: menemani anak saat rekreasi dengan adanya
nasihat-nasihat di sela-sela rekreasi, bermain dan bercengkerama dengan anak,
dan memberikan secercah kebahagiaan di dalam diri mereka dengan melalui
kecupan, belaian, mengelus rambut anak, menyediakan makanan dan minuman untuk
anak, memangku anak dengan hangat, sehingga anak merasakan kehangatan dan kasih
sayang dari orangtuanya.
Kemudian, menurut Mahmud
Khalifah dan Usamah Quthub dalam bukunya yang berjudul ” Kaifa Tashbaha
Mu’alliman Mutamayyizan” Barometer
yang harus diperhatikan untuk memilih cara pengajaran yang tepat adalah sebagai
berikut:
a.
Harus selaras dengan
tujuan-tujuan pelajaran.
b.
Harus bisa memikat
perhatian para murid terhadap pelajaran.
c.
Harus selaras dengan
kematangan para murid.
d.
Harus selaras dengan
kandungan materi pelajaran.
e.
Harus menerima perbaikan
jika situasi pengajaran menuntut hal itu.
f.
Harus menjaga perbedaan
karakteristik di antara para murid.
g.
Harus sesuai dengan
kondisi dan keadaan pengajaran.
h.
Harus membantu para murid
untuk meningkatkan pola pikir.
i.
Memberikan kesempatan
kepada para murid untuk berdiskusi atau berdialog.
j.
Memberikan kesempatan
kepada para murid untuk melakukan kunjungan lapangan.
k.
Membolehkan para murid
untuk menggunakan buku-buku referensi lain selain buku-buku pelajaran.
l.
Meningkatkan ruh musyawarah
para murid.[30]
Kemudian, dengan adanya teori
berlandaskan Islam di atas dan berdasarkan teori-teori sebelumnya, maka
perpaduan dari semua teori yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, diharapkan
akan menghasilkan model pembelajaran yang lebih utuh, yang mencakup kecerdasan
IQ, EQ dan SQ. Dengan adanya keutuhan ini, diharapkan dihasilkan anak didik
yang lebih sempurna dalam proses pembelajaran PAI.
- Menurut Anda bagaimana desain pembelajaran PAI yang bagus untuk madrasah dan untuk sekolah? Analisislah berdasarkan teori-teori pendidikan dan pembelajaran, dan pandangan Islam!
Jawab :
1)
Merumuskan tujuan pembelajaran (specification of object)
Tujuan instruksional harus dirumuskan dalam kemampuan
apa yang harus dimiliki pada tingkat jenjang belajar tertentu. Tujuan ini juga
dipadukan dengan tujuan pendidikan di dalam Islam, misalnya penanaman akidah
dan akhlak, kemudian pelatihan keterampilan ibadah, kebiasaan perilaku terpuji
serta sikap ketaatan kepada aturan Allah dan Rasul Saw.
2)
Menentukan isi materi (specification of content)
Bahan atau materi pada dasarnya adalah isi dari
kurikulum yakni berupa mata pelajaran atau bidang studi, topik/sub topik dan
rinciannya. Isi materi berbeda-beda menurut bidang studi, sekolah, tingkatan
dan kelasnya, namun isi materi harus sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapainya. Materi ini pun disesuaikan dengan landasan akidah Islam yang telah
ditetapkan dalam tujuan sebelumnya, sehingga ada keterpaduan di semua materi
pelajaran yang terdapat di madrasah, dan dapat membentuk anak didik yang utuh
dimensi dunia dan dimensi ukhrawinya.
3)
Menentukan kemampuan awal/penilaian kemampuan awal
siswa (Assesment of Entering behaviors)
Kemampuan awal siswa ditentukan dengan memberikan tes
awal. Pengetahuan tentang kemampuan awal siswa ini penting bagi pengajar agar
dapat memberikan dosis pelajaran yang tepat; tidak terlalu sukar dan tidak
terlalu mudah. Dengan warna akidah Islam, kemampuan anak disesuaikan dengan
konsep Islam dalam pendidikan anak, sehingga proses pembelajaran bisa sesuai
dengan perkembangan anak sebagaimana yang dipesankan dan dicontohkan baginda
Nabi Saw.
4)
Menentukan teknik dan strategi (Determination of strategy)
Menurut Gerlach dan Ely, strategi merupakan pendekatan
yang dipakai pengajar dalam memanipulasi informasi, memilih sumber-sumber, dan
menentukan tugas/peranan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan
perkataan lain, pada tahap ini pengajar harus menentukan cara untuk dapat
mencapai tujuan instruksional dengan sebaik-baiknya. Dlam tahapan ini,
berdasarkan konsep sebelumnya, teknik dan strategi yang digunakan harus mampu
menarik minat anak didik, kemudian mampu meningkatkan kemampuan intelektual,
mental dan spiritual anak didik.
5)
Menentukan Pengelompokan belajar (Organization of groups)
Setelah menentukan pendekatan dan metode, pengajar harus
mulai merencanakan bagaimana kelompok belajar akan diatur. Pendekatan yang
menghendaki kegiatan belajar secara mandiri dan bebas (independent study)
memerlukan pengorganisasian yang berbeda dengan pendekatan yang memerlukan
banyak diskusi dan partisipasi aktif siswa dalam ruang yang kecil, atau untuk
mendengarkan ceramah dalam ruang yang luas. Berdasarkan konsep musyawarah dalam
Islam, maka dalam diskusi ini diarahkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang sesuai
dengan Alquran dan Assunah.
6)
Menentukan pembagian waktu (Allocation of times)
Pemilihan strategi dan teknik untuk ukuran kelompok yang
berbeda-beda tersebut mau tidak mau akan memaksa pengajar memikirkan penggunaan
waktunya, yaitu apakah sebagian besar waktunya harus dialokasikan untuk presentasi
atau pemberian informasi, untuk pekerjaan laboratorium secara individual, atau
untuk diskusi. Dalam Islam, sikap disiplin merupakan perilaku terpuji yang
harus dimiliki seorang muslim, oleh karena itu, efektifitas pembelajaran sangat
diperhatikan, dikarenakan waktu anak belajar sangatlah berharga.
7)
Menentukan ruang (Allocation
of space)
Sesuai dengan tiga alternative pengelompokan belajar
seperti pada no.5, alokasi ruang ditentukan dengan menjawab apakah tujuan
belajar dapat dipakai secara lebih efektif dengan belajar secara mandiri dan
bebas, berinteraksi antarsiswa, atau mendegarkan penjelasan dan bertatap muka
dengan pengajar.
8)
Memilih media instruksional yang sesuai (Allocation
of Resources)
Pemilihan media ditentukan menurut tanggapan siswa yang
disepakati. Jadi tidak sekadar yang dapat memberikan stimulus rangsangan
belajar. Gerlach dan Ely mambagi media sebagai sumber belajar ini ke dalam lima
katergori, yaitu: (a) manusia dan benda
nyata, (b) media visual proyeksi, (c) media audio, (d) media cetak, dan (e)
media display.
9)
Mengevaluasi hasil belajar (evaluation of performance)
Kegiatan belajar adalah interaksi antara pengajar dan
siswa, interaksi antara siswa dan media instruksional. Hakiakat belajar adalah
perubahan tingkah laku belajar pada akhir kegiatan instruksional. Semua usaha
kegiatan pengembangan instruksional di atas dapat dikatakan berhasil atau tidak
setelah tingkah laku akhir belajar tersebut dievaluasi.
Gerlach dan Ely membagi media sebagai sumber belajar
menjadi 5 kategori:
a)
Manusia dan benda nyata
b)
Media visual proyeksi
c)
Media audio
d)
Media cetak
e)
Media display
10)
Menganalisis umpan balik (analisys of feedback)
Analisis umpan balik merupakan tahap terakhir dari
pengembangan sistem instruksional ini. Data umpan balik yang diperoleh dari evaluasi,
tes, observasi, maupun tanggapan-tanggapan tentang usaha-usaha instruksional
ini menentukan, apakah sistem, metode, maupun media yang dipakai dalam kegiatan
instruksional tersebut sudah sesuai untuk tujuan yang ingin dicapai atau masih
perlu disempurnakan.
Dengan adanya pengintegrasian konsep Islam dan Model
desain Gerlach dan Ely ini, terlihat bahwa desain pembelajaran ini lebih utuh
dan terarah.
- Materi PAI terdiri dari beberapa aspek kajian seperti Akidah, Akhlak, Fikih, Sejarah, dan Alquran serta Hadis. Masing-masing memiliki karakteristik tujuan yang berbeda, tentu kalau berdasarkan kajian model pembelajaran memiliki desain dan model yang berbeda. Kemukakan pendapat Anda, dengan dukungan teori pembelajaran!
Jawab :
Berdasarkan pembahasan-pembahasan
sebelumnya, dapat dipahami bahwa model
pembelajaran yang terbaik untuk melaksanakan pembelajaran Akidah, Akhlak, Fikih, Sejarah, dan Alquran serta Hadis adalah ”model holistik, humanistik, emansipatorik dan efektif”. Adapun model ini
merupakan bagian dari rumpun model pembelajaran konstruktivistik. Sutikno
menyebutkan ciri-ciri model pembelajaran konstruktivistik, antara lain:
memandang pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu
berubah-ubah tidak menentu, belajar adalah menyusun pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaborasi, dan refleksi serta interpretasi.[31] Pembelajaran kontekstual, kooperatif,
kuantum, terpadu dan berbasis masalah, menurut Sugiyono dapat pula
dimasukkan ke dalam rumpun model konstruktifistik dengan ciri-cirinya
sebagaimana dikemukakan di atas.[32]
Adapun berdasarkan berdasarkan konseptual teoritis yang dijelaskan, maka langkah-langkah
pembelajaran holistik, humanistik dan emansipatorik adalah sebagai berikut:
1) Modelling, pada tahap ini guru
menyontohkan, memperagakan, menyimulasikan, atau mempraktikkan ucapan,
perbuatan atau sikap yang terseleksi dan secara akademik dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Misalnya menyontohkan bacaan al-Qur’an dengan
benar dan fasih.
2) Reflecting, pada tahap
ini guru meminta peserta didik untuk mengemukakan kesan, komentar, saran,
catatan, baik lisan maupun tulisan terhadap pengalamannya melihat, menirukan
dan memperagakan contoh yang diberikan oleh guru. Selain itu, guru juga meminta
peserta didik mendeskripsikan setiap langkah dari apa yang ditirukannya dari
guru. Misalnya, peserta didik diminta menuliskan gerakan apa saja yang
dilakukan dalam peragaan shalat, dan bacaan apa saja yang dibaca pada setiap
gerakan tersebut. hasil refleksi ini kemudian diberikan catatan, komentar, perbaikan
dan penguatan oleh guru, sehingga hasil refleksi tersebut sudah tervalidasi.
3) Problem Solving, pada tahap
ini, guru meminta peserta didik untuk memecahkan permasalahan yang terkait
dengan topik yang telah diajarkan melalui modeling dan reflecting
sebagaimana tersebut di atas. Guru misalnya mengajukan permasalahan yang
terkait dengan peragaan shalat. Misalnya guru memberikan pertanyaan tentang
bagaimana cara mengerjakan shalat bagi orang yang cacat; atau cara mengerjakan
shalat ketika dalam perjalanan, dan sebagainya.
4) Deep
Discussion, pada tahap ini, guru meminta
peserta didik untuk mempresentasikan hasil jawabannya atau permasalahan yang
dipecahkan sebagaimana yang terdapat pada tahap ketiga di atas di hadapan
peserta didik lainnya. Melalui tahap ini, peserta didik akan memperoleh wawasan
dan pemahaman yang lebih luas atas masalah yang dipecahkan dengan argumentasi
yang lebih luas dan mendalam.
5) Socialization,
pada tahap ini peserta didik diajak untuk memperagakan kemampuan
akademiknya di lingkungan sekolah itu sendiri, atau di tempat tinggalnya
masing-masing. Melalui proses ini, peserta didik akan menyaksikan secara
langsung bagaimana sebuah kompetensi dilakukan masyarakat, sehingga terjadi
proses interaksi antara dirinya dan masyarakat sekitarnya.
6) Authentic
assessment, pada tahap ini peserta didik dilihat kemampuannya secara orisinal,
obyektif dan komprehensif dengan cara meminta peserta didik untuk menilainya
sendiri. Penilaian kemampuan afektif dilakukan melalui pengamatan yang
berkelanjutan (continous observation) serta berdasarkan portofolio.
Penilaian kemampuan psikomotorik dilakukan dengan melakukan pengamatan secara
langsung, meminta peserta didik untuk mendemonstrasikan suatu keterampilan;
melibatkan semua pihak yang ada di sekolah, termasuk orangtua peserta didik dan
masyarakat, melalui wawancara, angket dan sebagainya.[33]
Dengan
melihat perbedaan tujuan dan materi yang dimiliki oleh masing-masing mata
pelajaran, maka ada perbedaan dalam aplikasinya, penjelasannya lebih lanjutnya
sebagai berikut:
Ø Akidah,
diperbanyak model yang mengarah ke pemrosesan informasi, di mana siswa diajak
untuk berpikir mendalam tentang keimanan, serta melakukan analisa terkait
aplikasi keimanan dalam kehidupan sehari-harinya, jadi aspek emosional dan
spiritualnya lebih ditekankan.
Ø Akhlak,
diperbanyak sisi afektifnya, sehingga anak didik bisa merasakan perkembangan
emosi yang lebih matang. Selain itu, anak didik diajak untuk mengamati
lingkungan sekitarnya, dan membuat konsep yang benar terkait akhlak yang
diajarkan dalam Islam.
Ø Fikih,
diperbanyak praktik dan latihan, dalam hal ini modelling menjadi perkara yang
penting, dikarenakan anak didik akan lebih mudah memahami dengan melihat
sekaligus mempraktikkannya.
Ø Sejarah,
diperbanyak sisi afektifnya, dengan kata lain materi sejarah ini harus
menimbulkan emosi saat pembahasannya, sehingga materi yang diajarkan lebih
melekat diingatan anak didik.
Ø Alquran serta
Hadis, diperbanyak praktik dan latihan juga, dalam hal ini dikenal metode talaqqi
(berhadapan langsung antara murid dan guru), dengan metode seperti ini,
proses evaluasi/perbaikan kesalahan pada anak didik akan lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Hafidz, Membangun Kepribadian Pendidik Umat: Ketauladanan Rasulullah Saw. di
Bidang Pendidikan, (Ciputat: Wadi Press, 2005).
Al-Nabhani, Taqiyuddin, Minmuqawwimat Nafsiyah
Islamiyah, diterjemahkan oleh Yasin dengan judul, “Pilar-pilar Pengokoh
Nafsiyah Islamiyah”, cet. ke-1, (Jakarta: HTI Press, 2005).
_________, Nizham
al-Islam, diterjemahkan oleh Abu Amin, dkk, dengan judul, “Peraturan
Hidup dalam Islam”, cet. ke-6, (Jakarta Selatan: HTI Press,
2010).
Al-Shâbûnî, Muhammad ‘Ali,
Shafwat Al-Tafâsîr, (Beirut-Lebanon: Dâr Al-Fikr, 2001).
Chatib, Munif, Gurunya
Manusia, Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, cet. ke-3,
(Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011).
Djamarah,
Syaiful Bahri dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Edisi Revisi),
cet. ke-3, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006).
Joyce,
Bruce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun, Models of Teaching, diterjemahkan
oleh Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza dengan judul “Model-model Pengajaran”
Edisi Kedelapan, cet. ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
Khalifah,
Mahmud dan Usamah Quthub, Kaifa Tashbaha Mu’alliman Mutamayyizan, diterjemahkan oleh: Marianto Samosir
dengan judul “Menjadi Guru yang Dirindu: Bagaimana Menjadi Guru yang Memikat dan
Profesional?”, cet. ke-1, (Surakarta:
Ziyad Visi Media, 2009).
Popham, W. James dan Eva L. Baker, Estabilishing Instructional
Gools and Systematic Instruction, diterjemahkan oleh: Amirul Hadi dengan judul “Teknik Mengajar Secara Sistematis”, cet. ke-4, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).
Prawiradilaga, Dewi Salma,
Prinsip Disain Pembelajaran (Instructional Design Principles), cet. ke-
3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).
Rajiih, Hamdan, Cerdas Akal,
Cerdas Hati: Mengasah dan Mengembangkan Kecerdasan Intelektual (IQ) dan
Kecerdasan Spiritual (SQ) Buah Hati Anda, diterjemahkan oleh: Abdul Wahid Hasan dan
Ach. Maimun Syamsuddin, cet. ke-1, (Jogjakarta: Diva Press, 2008).
Rusman, Model-model
Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, cet. ke-4, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2011).
Slavin, Robert E., Educational
Psycology: Theory and Practice, Edisi Kedelapan Jilid 1, diterjemahkan oleh: Marianto
Samosir dengan judul “Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik”,
(Jakarta: PT. Indeks, 2008).
Sutikno, M. Sobry, Menggagas Pembelajaran Efektif dan Bermakna. (Mataram:
NTB Press, 2007)
Sugiyono, Model-model Pembelajaran Inovatif, (Surakarta: Yuma
Pustaka dan FKIP UNS, 2010)
Thâhir, Abî, Tanwir Al-Miqbâs,
tafsîr ‘Ibnu ‘Abbâs, (Beirut, Dâr Al-Fikr, 2001).
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah
Tentang Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen
Agama RI, 2006).
Uno,
Hamzah B., Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang
Kreatif dan Efektif, cet. ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).
Yasin, Abu, Usus
At-ta’lim fi Daulah Al-khilafah,
diterjemahkan oleh Ahmad Fahrurozi
dengan judul, Strategi Pendidikan
Negara Khilafah, cet. ke-4, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008).
Jurnal:
Nata, Abuddin dan Ahmad Sofyan, Pengembangan Desain Model
Pembelajaran PAI Berbasis Karakter Mulia Yang Holistik, Humanis, Emansipatoris,
dan Efektif, (Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, diterbitkan tanggal pada 14 Mei
2014)
[1]Abu
Yasin, Usus At-ta’lim fi Daulah
Al-khilafah, diterjemahkan oleh Ahmad Fahrurozi dengan
judul, Strategi Pendidikan Negara
Khilafah, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), Cet. ke-4, h. 38-39.
[3]Taqiyuddin
an-Nabhani, Nizham al-Islam, diterjemahkan oleh Abu Amin, dkk, dengan judul, Peraturan Hidup dalam Islam, (Jakarta Selatan:
HTI Press, 2010), cet. ke-6, h. 7-24.
[4]Taqiyuddin
an-Nabhani, Minmuqawwimat Nafsiyah Islamiyah, diterjemahkan oleh Yasin
dengan judul, Pilar-pilar
Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, (Jakarta: HTI Press, 2005), cet ke-1,
h. 3.
[5]Hafidz
Abdurrahman, Membangun Kepribadian
Pendidik Umat: Ketauladanan Rasulullah Saw. di Bidang Pendidikan, (Ciputat:
Wadi Press, 2005), h. 22.
[6]Abu
Yasin, op. cit., h. 10.
[7]Undang-undang dan Peraturan Pemerintah
Tentang Pendidikan, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006), h. 8.
[9]Syaiful Bahri
Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2006), Cet. ke-3, h. 3.
[10]Abî Thâhir, Tanwir Al-Miqbâs, tafsîr
‘Ibnu ‘Abbâs,(Beirut,
Dâr Al-Fikr, 2001), h. 281.
[11]Rusman, Model-model
Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, cet. ke-4, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2011), h. 138.
[14]Rusman, h. 143.
[15]Rusman, h. 144.
[17]Munif Chatib, Gurunya Manusia,
Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, cet. ke-3, (Bandung:
PT. Mizan Pustaka, 2011), h. 81-82.
[20]Hamzah B. Uno, h. 12
[21]Hamzah
B. Uno, h. 13.
[22]Ibid,
h. 14.
[23] Bruce Joyce, Marsha
Weil, dan Emily Calhoun, Models of Teaching, diterjemahkan oleh Achmad
Fawaid dan Ateilla Mirza dengan judul “Model-model Pengajaran” Edisi
Kedelapan, cet. ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 45-55.
[24]Bruce Joyce,
Marsha Weil, dan Emily Calhoun, Models of Teaching, diterjemahkan oleh
Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza dengan judul “Model-model Pengajaran”
Edisi Kedelapan, cet. ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 57-58.
[25]W.
James Popham dan Eva L. Baker, Estabilishing Instructional Gools and
Systematic Instruction, diterjemahkan
oleh: Amirul Hadi dengan
judul “Teknik Mengajar Secara Sistematis”, cet. ke-4, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), h. 11-12.
[27]Rusman, Model-model Pembelajaran:
Mengembangkan Profesionalisme Guru, cet. ke-4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2011), h. 232.
[28]Dewi
Salma Prawiradilaga, Prinsip Disain Pembelajaran (Instructional Design
Principles), cet. ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.
33.
[29]Rusman, Model-model Pembelajaran:
Mengembangkan Profesionalisme Guru, cet. ke-4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2011).
[30]Mahmud Khalifah dan Usamah Quthub, Kaifa Tashbaha Mu’alliman
Mutamayyizan, diterjemahkan
oleh: Marianto Samosir dengan judul “Menjadi Guru yang Dirindu: Bagaimana Menjadi Guru
yang Memikat dan Profesional?”, cet. ke-1,
(Surakarta: Ziyad Visi Media, 2009), h. 135-136.
[31]M.
Sobry Sutikno, Menggagas Pembelajaran Efektif dan Bermakna. (Mataram:
NTB Press, 2007), h. 17-21.
[32]Sugiyono,
Model-model Pembelajaran Inovatif, (Surakarta: Yuma Pustaka dan FKIP
UNS, 2010), h. 145-165.
[33]Abuddin Nata
dan Ahmad Sofyan, Pengembangan Desain Model Pembelajaran PAI Berbasis
Karakter Mulia Yang Holistik, Humanis, Emansipatoris, dan Efektif, (Jakarta: Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, diterbitkan tanggal pada 14 Mei 2014)