KEADILAN PERIWAYAT
A. Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu sumber pokok penetapan hukum di dalam
Islam. Hadits Nabi telah ada sejak awal
perkembangan Islam , adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi.
Hadits dapat disebut juga dengan Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber
atau didasarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, atau
taqrir-nya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan
hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.
Pada zaman sahabat, hadits - hadits Nabi disampaikan dari mulut ke
mulut. Pada masa itu mereka belum terdorong membukukannya dan kekuatan hafalan
sahabat pun telah diakui sejarah. Pada masa setelah sahabat adalah para tabi’in
dan tabi’ut tabi’in yang penyampaikan hadits- hadits nabi dan mereka mulai
membukukan hadits – hadits agar tidak hilang dari perubahan zaman.
Para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam meriwayatkan hadits
sangat adil dan tidak ada pertentangan diantara meraka pada masa hidup meraka.
Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang keadilan para sahabat ,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam meriwayatkan dan mengajarkan hadits pada
orang islam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka pemakalah dapat merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud
dengan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in?
2. Bagaimana cara
mengetahui atau menetapkan sahabat?
3. Bagaimana keadilan
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in?
C. Tujuan
Tujuan makalah
ini adalah untuk mengetahui bahwa keadilan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in dalam mengajarkan ajaran Islam berpedoman pada alqur’an dan hadits.
D. Pembahasan
1. Pengertian
Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
a. Pengertian Sahabat
Kata sahabat menurut lughah jamak dari sahib artinya yang menyertai
atau yang menemani.
Pengertian sahabat menurut terminologi ialah orang yang pernah
bertemu dengan Nabi saw, beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan beriman
pula.
Para ulama bereselisih paham tentang siapa yang dapat dikatakan
sahabat.
Sebagian ahli ushul menetapkan, bahwa yang dikatakan sahabat ialah:
orang yang bertemu dan hidup bersama Rasulullah saw. minimal setahun lamanya.
Pendapat ini berdasarkan ta’rif sahabat dikemukakan oleh Sa’id Ibnu’l-Musayyab,
ialah: orang yang bertemu dan berperang bersama Nabi atau ditetapkan lama
pergaulannya dengan Nabi setahun atau dua tahun. [1]
Menurut Jumhuru’l-Muhadditsin, yang dikatakan sahabat ialah :
مَنْ لَاقِيَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم مُلَا قَةً عُرْفِيَّةً فِي حاَلِ الْحَيَاةِ حاَلَ كَوْنِهِ
مُسْلِمًا وَمُؤْمِنًا بِهِ
“Orang
yang bertemu Rasulullah saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw masih
hidup, dalam keadaan Islam dan beriman.”
Dengan ketentuan
ini, maka orang-orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw., tetapi tidak
mempercayai kerasulannya, orang Islam lagi iman, yang hidup segenerasi dengan
Rasulullah saw., namun sekalipun belum pernah bertemu dengan beliau, seperti
An-Najasyi, dan orang-orang yang bermaksud menemui rasulullah saw. dengan iman,
tetapi bertemu dalam keadaan Rasulullah telah wafat, seperti Abu Dzu'aib,
mereka semuanya tidak dapat dikatakan sahabat.[2]
Penggunaan kata
bertemu, yang dimaksudnya bergaul adalah lebih tepat daripada menggunakan
perkataan melihat pada ta’rif jumhur tersebut. Yang demikian itu agar
orang yang tidak dapat melihat Rasulullah dengan mata kepala, lantaran buta,
tetapi selalu bergaul dengan beliau, seperti Ibnu ‘Ummi Maktum, dapat
dimasukkan dalam golongan sahabat.
Menurut ta’rif
Jumhur di atas, orang-orang yang pernah bergaul dengan Rasulullah saw.,
kendatipun mereka tidak pernah meriwayatkan sepotong hadits pun atau tidak lama
pergaulannya dengan beliau, tetap dikatakan sahabat.
Pendapat Jumhur
ini berlawanan dengan pendapat Al-Jahidh, ulama beraliran Mu’tazilah, yang
mensyaratkan harus lama bergaul dan pernah meriwayatkan hadits daripadanya.
Sebab tujuan pokok mempergauli rasul itu tidak lain kecuali untuk menyampaikan
hukum-hukum daripadanya kepada orang banyak.
b. Pengertian Tabi’in
Tabi’in menurut bahasa adalah jama’ dari kata tabi’ yang artinya
pengikut. Menurut istilah, tabi’in adalah orang yang pernah bertemu dengan
sahabat, iman kepada Nabi saw dan meninggal dalam keadaan Islam. Tentang hal
ini al-Khatib al-Baghdadi mensyaratkan adanya persahabatan dengan sahabat, jadi
bukan hanya bertemu.
Menurut Ibnu Katsir, yang dinamakan tabi’in tidak cukup hanya
pernah melihat sahabat, sebagaimana yang dinamakan sahabat cukup pernah melihat
Nabi saw saja. Yang membedakan adalah keagungan dan kebesaran dari melihat Nabi
saw. Namun menurut kebanyakan ahli hadis, yang dinamakan tabi’in ialah orang
yang pernah bertemu sahabat dalam keadaan beriman dan meninggal dunia dalam
keadaan beriman meskipun tidak pernah bersahabat dengan sahabat dan tidak pula
pernah meriwayatkan hadits dari sahabat. Demikian ini menurut pendapat yang
diunggulkan oleh Ibnu Al-Salhah dan lain-lain. [3]
Menurut sebahagian ulama’:
مَنْ لَقِىَ وَاحِدًا مِنَ الصَّحَابَةِ فَاَكْثَرَ
“orang
yang bertemu dengan seseorang sahabat atau lebih”
Dari pengertian diatas jelas sekali bahwa Tabi’in itu bukan saja
setiap orang yang bisa bertemu dengan sahabat dikategorikan Tabi’in. Mungkin
kalau hanya bisa berjumpa dengan para sahabat banyak sekali orang di masa itu
yang berjumpa bahkan dekat dengan sahabat, akan tetapi mereka tidak
dikategorikan Tabi’in. Makanya seseorang itu baru bisa di katakan Tabi’in
apabila dia itu telah beragama Islam semenjak dia berjumpa dengan sahabat baik
lama maupun sebentar sampai dia itu wafat. Jadi kesimpulan dari beberapa
pengertian Tabi’in diatas adalah orang yang berjumpa dengan sahabat dalam
keadaan beragama Islam mulai dari awal perjumpaannya sampai wafatnya baik itu
lama ataupun hanya sebentar.
Jadi seorang Tabi’in baru bisa diakui akan keTabi’inannya harus
memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Benar-benar pernah bertemu dengan salah
seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam 2. Benar-benar sudah
beragama Islam 3. Menjaga amanah sariat Islam 4. Iman dan Islam sampai mati .
c. Pengertian Tabi'ut tabi'in
Tabi'ut tabi'in atau Atbaut Tabi'in (bahasa Arab: تابع التابعين) adalah generasi setelah Tabi'in, artinya pengikut Tabi'in,
adalah orang Islam teman sepergaulan dengan para Tabi'in dan tidak mengalami
masa hidup Sahabat Nabi. Tabi'ut tabi'in adalah di antara tiga kurun generasi
terbaik dalam sejarah Islam, setelah Tabi'in dan Shahabat. Tabi'ut tabi'in
disebut juga murid Tabi'in. Menurut banyak literatur Hadits : Tab'ut Tabi'in
adalah orang Islam dewasa yang pernah bertemu atau berguru pada Tabi'in dan
sampai wafatnya beragama Islam. Dan ada juga yang menulis bahwa Tabi'in yang
ditemui harus masih dalam keadaan sehat ingatannya.
2. Cara untuk Mengetahui Sahabat
Untuk menggolongkan seseorang kepada sahabat, hendaklah menggunakan
salah satu dari lima ketentuan tersebut di bawah ini.
1.
Adanya khabar Mutawatir yang menyatakan bahwa
orang itu adalah sahabat. Contoh : Khulafa’ur Rasyidin
2.
Adanya
khabar yang masyhur tetapi belum pada tingkat mutawatir yang menyatakan bahwa
orang itu adalah sahabat. Contoh : Dlammah ibn Tsa’labah dan Ukasyah ibn Nisham
3.
Diberitakan
atau diakui oleh sahabat yang terkenal kesahabatannya. Contoh :Hamamah ibn Abi
Hamamah Ad-Dausi yang diakui kesahabatannya oleh Abu Musa Al-Asy’ari
4.
Adanya
keterangan dari Tabi’in yang tsiqah (kepercayaan) bahwa orang itu Sahabat
5.
Pengakuan
sendiri dari orang yang adil (Islam, baligh, berakal, tidak mengerjakan
dosa-dosa kecil apalagi dosa besar yang dapat menodai agama dan sopan santun,
serta sejahtera dari sesuatu yang dapat mengurangkan kesempurnaan dirinya)
bahwa dirinya adalah seorang sahabat. Pengakuan dinyatakan sebelum seratus
tahun kewafatan Rasulullah. Apabila pengakuan tersebut dilakukan setelah
seratus tahun kewafatan Nabi saw, maka pengakuannya itu tidak diterima.
3. Keadilan Sahabat
Menurut
Ibnu Sam’ani, keadilan seorang rawi harus memenuhi empat syarat, yaitu :
a. Selalu
memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat
b. Menjauhi
dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun
c. Tidak
melakukan perkara-perkara mubah yang dapat
menggugurkan iman kepada qadar dan
mengakibatkan penyesalan.
d. Tidak
mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan
syara’.
Dengan demikian, jika pada diri seorang rawi tidak ada jiwa yang
adil dalam meriwayatkan hadits, maka akan berpengaruh negatif terhadap
kesahihan hadits itu sendiri.
Keadilan seorang perawi bisa diketahui melalui satu diantara dua
hal: Pertama, kepopuleran keadilannya dikalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal
sebagai orang yang adil ( bisy-syuhrah), seperti Anas bin Malik, Sufyan
al-Tsauriy, Syu’bah ibn Al-Hajjaj, Imam Ahmad, dan lain-lain. Sehingga tidak
absah mempertanyakan mereka. Karena yang diketahui berdasarkan kepopuleran
semacam itu lebih tinggi dibanding yang diketahui berdasarkan tazkiyah yaitu
penta’dilan orang yang terbukti adil terhadap orang yang belum dikenal
keadilannya. [4]
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan
sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan
itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Penetapan keadilan seorang rawi
dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh : seorang rawi yang adil dan
setiap orang yang dapat diterima periwayatannya.
Jumhuru’l-ulama berpendapat, bahwa seluruh sahabat itu adalah adil,
baik mereka yang terlibat fitnah pembunuhan, maupun yang tidak terlibat.[5]
Keadilan dalam hal ini, yang dimaksud adalah keadilan dalam
periwayatan hadits, bukan keadilan dalam soal persaksian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa keadaan sahabat itu
tidak berbeda dengan keadaan orang lain, yakni ada yang adil dan ada pula yang
tidak adil.
Golongan Mu’tazilah mengatakan, bahwa seluruh sahabat itu adil
selain mereka yang terlibat pada pembunuhan
Khilafah ‘Ali r.a.
Imam An-Nawawy mengatakan, bahwa pendapat jumhur itu telah menjadi
ijma’. Oleh karena itu, pendapat yang mengharuskan penyelidikan keadilan
sahabat, pendapat yang membedakan apakah terlibat dalam fitnah pembunuhan atau
tidak dan lain sebagainya, tidak perlu diperhatikan. Sebaiknya hendaklah
berprasangka baik kepada mereka, agar terhindar dari dosa.
Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, semua sahabat adalah adil, karena
Allah Subhanallah wa Ta’ala telah memuji mereka dalam Al-Qur’an, dan As-Sunnah
juga memuji terhadap akhlak dan perbuatan mereka, dan pengorbanan mereka kepada
Rasulullah baik harta dan jiwa mereka, hanya karena ingin mendapatkan balasan
dan pahala dari Allah Ta’ala.
Seluruh sahabat, kecil maupun besar, tua maupun muda, yang terlibat
peperangan antara Ali dan Mu’awiyah maupun tidak, semuanya adil. Demikian
menurut konsensus para ulama ahli sunnah atas dasar baik sangka, bukti dari
sikap dan prilaku mereka, baik dari sisi kepatuhan dalam menjalankan perintah
Nabi saw sesudah wafatnya, kegigihan
dalam melakukan ekspansi wilayah Islam, kesungguhan dalam menyampaikan
Al-Qur’an dan Hadits, memberikan petunjuk kepada manusia, dan yang terpenting
ialah kontinyuitas mereka dalam menjalankan shalat, zakat, dan ibadah-ibadah
lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maupun dari sisi karakter
pribadi mereka berupa keberanian dalam mengambil kebijaksanaan, kedermawanan,
kesediaan untuk mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan
pribadi, dan lain sebagainya dari akhlak-akhlak mereka yang terpuji yang tidak
pernah dimiliki oleh umat-umat sebelumnya.
Keadilan sahabat merupakan sesuatu yang imperatif diakui
berdasarkan firman-firman Allah yang berhubungan dengan para sahabat, dan
hadis-hadis yang inklusif menunjukkan kesucian mereka dan keberadaannya sebagai
manusia-manusia pilihan. Sekiranya tidak ada dalil-dalil dari Allah dan
Rasulnya, maka sudah cukup dengan bukti sikap dan prilaku serta perjuangan
mereka. Misalnya, adanya peristiwa hijrah, jihad dalam membela Islam dengan
mengorbankan seluruh harta, jiwa dan tenaga mereka. Bahkan, demi Islam mereka
sanggup membunuh ayah dan anak mereka yang memusuhi Islam. Mereka senantiasa
memberikan nasihat dalam agama. Keimanan dan keyakinan mereka begitu kuatnya.
Dan semua itu merupakan bukti kuat yang memberikan keyakinan penilaian atas
keadilan dan kejujuran mereka, yang imperatif berimpilkasi pada sikap menaruh
kepercayaan penuh atas kesucian mereka. Secara inklusif, mreka adalah
orang-orang yang lebih utama daripada semua orang, termasuk mereka yang
dipandang adil, yang datang sesudah mereka. Demikian ini menurut pendapat
mayoritas ulama yang fatwanya bisa dijadikan pegangan.
Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa keadilan sahabat telah di maklumi
berlandaskan apa yang ditegaskan Allah Swt sendiri. Selain itu Allah juga
memuji mereka. Oleh karena itu tidak perlu lagi menta’dilkan mereka sebab
penta’dilan dari Allah lebih sahih mengingat Dia adalah Dzat yang Maha
Mengetahui terhadap yang ghaib. Pernyataan Al-Ghazali mendapat dukungan ibn
Salah, ia menjelaskan bahwa keadilan sahabat sudah tidak dipertanyakan lagi.
Hal ini sesuai dengan keterangan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ bahwa mereka
semua adalah adil.
Abu A-Zar’ah berkata, “apabila kamu melihat seseorang mencela seorang sahabat dari sahabat-sahabat
Rasulullah saw, maka ketahuilah bahwa dia itu seorang zindiq (orang kafir yang
berpura-pura beriman), karena kita semua menyakini Rasulullah itu haq, Qur’an
itu haq, dan semua yang dibawa Rasulullah itu haq. Sedangkan mereka yang menyampaikan
semua itu kepada kita dalah sahabat. Mereka yang mencela sahabat itu tidak lain
bertujuan memperdangkal persaksian kita terhadap para sahabat, yang tujuan
akhirnya ialah membatalkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Dan oleh karena
itu, mereka lebih tercela, dan mereka tidak lain adalah orang-orang zindiq.[6]
4. Dalil-dalil mengenai Keadilan Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut
tabi’in
Berdasarkan Al-Qur’an,
Hadis, dan Ijma’
1.
Dalil-dalil
dari Al-Qur’an
a.
Firman
Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 143:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ اُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَسُلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.”
b.
Surat
Ali Imran ayat 110
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ
وَ تَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman
kepada Allah.”
c.
Surat
Al-Fath ayat 29
مُحَمّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ
رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka.”
d.
Surat
Al-Anfal ayat 64
يَااَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Hai
Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).”
e.
Surat
Al-Fath ayat 18
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ
الشَجَرَةِ
“Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon.”
f.
Surat
At Taubah ayat 100
وَالسَّابِقُونَ الْاَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِوَالَّذِيْنَ
اتَّبَعُوهُمْ بِاِحْسَانٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ
رَضُوا عَنْهُ
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.”
g.
Surat
An-Naml
قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَ سَلاَمٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِيْنَ اصْطَفَى
Katakanlah,
“Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hambaNya yang dipilihNya.”
2.
Dalil-dalil
dari Sunnah
a.
Hadis
riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud r.a, dari Nabi saw,
bahwasanya beliau bersabda:
خَيْرُ الْقُرُوْنِ قُرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلَوْنَهُمْ
“Sebaik-baik
kurun adalah kurunku, kemudian kurun-kurun berikutnya dari generasi ke
generasi.”
b.
Hadis
riwayat Al-Turmudzi dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, dari Abdullah bin
Mughaffal, dia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللِه صلى الله عليه وسلم اللهَ اللهَ فِي اَصْحَابِى
لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرْضًا بَعْدِى فَمَنْ اَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّىى أُحِبُّهُمْ وَمَنْ
أَبْغَضَهُمْ
فَبِبُغْضِهِمْ وَمَنْ اَذَاهُمْ فَقَدْ اَذَانِى وَمَنْ اَذَانِى فَقَدْ اَذَا
اللهَ يُوشِكُ اَنْ يَأْخُذَهُ
Rasulullah
saw bersabda, “Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah terhadap
sahabat-sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran maksud
jahatmu sesudahku. Barangsiapa mencintai mereka, maka sebab cintanya kepadaku
akupun mencintainya, dan barangsiapa membenci mereka maka sebab kebenciannya
kepadaku akupun membencinya, barangsiapa menyakiti aku maka dia telah menyakiti
Allah, yang nyaris Allah menyiksanya.”
c.
Hadis
riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi saw, bahwasanya
Nabi saw bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَبِى فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ اَنْفَقَ
اَحَدُكُمْ مِثْلَ اُحُدٍ ذَهَبًا
مَا اَدْرَكَ مُدَّ اَحَدِهِمْ
وَلاَ نَصِيْفَهُ
“Janganlah
kamu sekalian mengumpat sahabat-sahabatku, demi Dzat yang jiwaku berada dalam
kekuasaanNya, sekiranya salah seorang di antara kamu menginfakkan emas sebesar
gunung uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala sedekah satu mud salah seorang
diantara mereka dan tidak pula separuhnya.”
d.
Hadis
riwayat Ahmad, Al-Turmudzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dari Bahz bin Hakim,
dari ayahnya, dari kakeknya, katanya:
قَالَ صلى الله عليه وسلم اَنْتُمْ تُوفُونَ سَبْعِيْنَ أُمَةً اَنْتُمْ
خَيْرُهَا وَاَكْرَمُهَا عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Rasulullah
saw bersabda: “Kamu sekalian (para sahabat) memenuhi kesempurnaan tujuh puluh
umat, kamu semua adalah sebaik-baik dan semulia-mulianya umat menurut pandangan
Allah Aza wa Jalla.”
e.
Hadis
riwayat Ahmad, sabda Rasulullah saw
طٌوبَى لِمَنْ رَاَنِى وَاَمَنَ بِى وَ طُوبَى لِمَنْ رَاَى مَنْ رَاَنِى
“Beruntunglah orang yang
melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung pula orang yang pernah melihat
orang yang pernah melihatku.”
f.
Hadis
riwayat Al-Bazzar, dari Jabir ra, dia berkata:
قَالَ صلى الله عليه و سلم اِنَّ اللهَ اِخْتَارَ أَصْحَابِى عَلَى اثَقَلَيْنِ
سِوَى النَّبِيِّيْنَ وَ الْمُرْسَلِيْنَ
Rasulullah
saw bersabda: “Bahwasanya Allah SWT telah memilih sahabat-sahabatku di atas dua
golongan manusia dan jin, selain para Nabi dan Rasul.”
Rawi
dalam hadis-hadis tersebut adalah tsiqqah (terpercaya).
3.
Dali-dalil
dari Ijma’
Imam Ibnu
Al-Shalah, bahwa Ijma’ ulama menetapkan seluruh
sahabat adalah orang yang adil, termasuk sahabat-sahabat yang terlibat
peperangan antara Ali dengan Mu’awiyah. Para ulama telah bersesuaian pendapat
dan dianggap sebagai komitmen mereka dalam masalah ini. Seolah-olah Allah SWT
sudah mengatur dengan ijma’ ini, mengingat para sahabat adalah penyambung lidah
pembawa syari’at. Yang menyebut adanya ijma’ tersebut ialah Ibnu Abdu Al-Bar,
Imam Al-Nawawi, dan Imam Haramain.
Kalau kita melihat
pujian Nabi saw kepada sahabat-sahabatnya, begitu juga pujian Allah dibeberapa
tempat dalam Al-Qur'an, maka tidak boleh tidak kita mesti tetapkan bahwa
sahabat-sahabat semua bersifat sifat adil dalam meriwayatkan hadis, yakni
mereka tidak khianat dan dusta dalam menyampaikan sabda-sabda dan
perjalanan Nabi saw.
Tetapi oleh
karena mereka juga manusia seperti kita, maka terkadang ada kekeliruan atau
kesalahan dalam menyampaikan Hadis atau Riwayat.
Pendeknya,
diri sahabat tidak usah kita ragukan lagi. Tetapi yang perlu kita periksa yaitu
hadis yang telah driwayatkannya.[7]
E. Kesimpulan
1. Kata sahabat menurut lughah jamak dari sahib artinya yang
menyertai. Menurut para ulama yang disebut "sahabat" adalah orang
yang bertemu dengan Nabi saw dalam keadaan beriman dan meninggal dunia sebagai
pemeluk Islam. Maka, orang yang bertemu dengan Nabi sedang dia belum memeluk
agama Islam, maka tidaklah dipandang sahabat. Orang yang menemui masa Nabi dan
beriman kepadanya tetapi tidak menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai
Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzu'aib, yang pergi dari rumahnya setelah
ia beriman untuk menjumpai Nabi di
Madinah. Setiba di Madinah, Nabi telah wafat. Maka, baik Najasi dan Abu
Dzu'aib, mereka berdua tidak termasuk sahabat Nabi.
2. Tabi'I menurut bahasa yaitu pengikut. Sedangkan yang disebut "tabi'in"
menurut istilah adalah orang yang bertemu dengan sahabat dan beriman kepada
Nabi saw serta meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Islam.
3. Tabi'ut tabi'in atau Atbaut Tabi'in (bahasa Arab: تابع التابعين) adalah generasi setelah Tabi'in, artinya pengikut Tabi'in adalah
orang Islam teman sepergaulan dengan para Tabi'in dan tidak mengalami masa
hidup Sahabat Nabi.
4. Keadilan para sahabat tabi’in dan tabi’ut tabi’in sudah sangat
jelas di dalam alqur’an dan hadits bahwa merekalah pembawa ajaran agama islam
setelah nabi Muhammad saw wafat, ada hadits yang mengatakan yang artinya
sebagai berikut:
“Sebaik-baik
manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka kemudian generasi
setelah mereka, Kemudian datang suatu kaum yang kesaksiannya mendahului
sumpahnya. Dan sumpahnya mendahului kesaksiannya”. (Bukhari/Muslim)
‘
DAFTAR PUSTAKA
Al-Katib,
Muhammad Ajjad. Ushul al-Hadis. Penerjemah M Nur Ahmad Musyafiq.
Jakarta: Gaya Media Pratama , 2007
Al-Maliki
, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Penerjemah Adnan Qohar. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2009
Al-Qaththan,
Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Penerjemah Mifdhol
Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005
Ash-Shiddiqiy,
Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Yogyakarta: Bulan
Bintang,
1980
http://kumpulanmakalah20.blogspot.co.id/2014/11/keadilan-para-sahabat-tabiin-dan-tabiut.html.
Diakses tanggal 12 Oktober 2015 pukul 20.20
http://www.afdhalilahi.com/2014/11/hadis-masa-tabiin.html.
Diakses tanggal 12 Oktober 2015 pukul 20.30
Rahman,
Fatchur. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits. Bandung:PT Alma’arif, 1974
[1] At-Taqrib,
an-Nawawy, hal.34
[2] Fatchur Rahman,
Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, (Bandung: PT Alma’rif, 1974), hlm.281
[3] Muqadimah Ibnu
Al-Shahah
[4] Muhammad ‘Ajaj
Al-Khathib, Ushul al-Hadits, Diterjemahkan oleh M Nur Ahmad Musyafiq,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
[5] At-Taqrib,
an-Nawawy, hal.24
[7] Ash-Shiddiqiy,
Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, cet ke 6 (Yogyakarta: Bulan
Bintang, 1980), hal. 315