A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Sejarah umat Islam tidak mengenal
pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang tuhan, sifat-sifat dan
perbuatannya, dengan disertai dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naqal
sebelum lahir aliran mu’tazilah. Mereka telah melepaskan akal sebebas-bebasnya
dalam membahas semua persoalan tanpa mengenal batas, baik yang bertalian dengan
langit atau bumi, dengan Tuhan atau manusia, baik yang besar maupun yang kecil.
Karena keberanian dan ketidak ragu-raguan mereka dalam memegangi hasil
pemikirannya, maka mereka hanya menerima dalil-dalil naqal, yang sesuai dengan
dalil-dalil akal pikiran dan mena’wilkan yang menyalahinya. Akal pikiran lah
yang menjadi hakim terhadap ayat-ayat mutasyabihat dan hadis-hadis yang tidak
sejalan dengan ketentuan akal pikiran.
Setelah beberapa tahun lamanya aliran mu’tazilah mencapai kepesatan dan
kemegahannya, terutama pada masa khalifah al
ma’mun, al mu’tasim, dan al watsiq, akhirnya mereka mengalami kemunduran.
Kemunduran ini adalah karena perbuatan mereka sendiri. Mereka hendak
mempertahankan kebebasan berfikir, tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang
yang tidak mengikuti paham mereka.
Untuk itulah sejarah mencatat betapa dahsyatnya perdebatan dan argumentasi
kelompok mu’tazilah dalam mempertahankan pendapat-pendapatnya, sehingga
pembahasan tentang mu’tazilah akan selalu menarik untuk dikaji dan dicermati
secara mendalam untuk menambah khazanah pengetahuan.
2.
Rumusan
pembahasan
a.
Apa
pengertian dan bagaimana latar belakang munculnya aliran mu’tazilah?
b.
Siapa saja
yang menjadi tokoh-tokoh dalam aliran mu’tazilah?
c.
Apa saja
yang menjadi pokok-pokok ajaran mu’tazilah
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
dan Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal
dari i’tazala yang berarti berpisah atau menyisihkan diri,[1] yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.
Secara etimologis kata Mu’tazilah berarti golongan yang mengasingkan atau
memisahkan diri.
Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua
golongan. Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon
politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam
arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Secara
penamaan golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral
politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
dikemudian hari. Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat
adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada
yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan menjadi kajian mendalam
dalam pembahasan ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.[2]
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada
golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Atha
serta temannya, ‘Amr bin ‘Ubaid, dan gurunya yaitu Hasan al-Basri di basrah.
Ketika Wasil bin ‘Atha mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri
di masjid Basrah datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan
al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan al-Basri masih berpikir
dan belum memberikan respon jawaban terhadap penanya tersebut, Wasil bin ‘Atha
mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang
berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada
posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Wasil bin
‘Atha menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan pergi ke tempat lain di
lingkungan mesjid. Di sana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para
pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil
menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani,
kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum
Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan
bahwa Wasil dan temannya, ‘Amr bin ‘Ubaid, diusir oleh Hasan al-Basri dari
majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan
orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula
kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan
bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung
dengan majelis ‘Amr bin ‘Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan al-Basri.
Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan al-Basri, ia
berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak
itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul
kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil
dan Hasan al-Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah karena berpendapat bahwa
orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki
tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain).
Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh
(terpisah) dari golongan mukmin dan golongan kafir.[3]
Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua pusat
pergerakan yaitu:
a.
Di Basrah yang
dipimpin oleh Washil bin ‘Atha dan ‘Amr bin ‘Ubaid dengan murid-muridnya, yaitu
Utsman ath-Thawil , Hafash bin Salim, Hasan bin Zakwan, Khaliq bin Sofwan dan
Ibrahim bin Yahya al-Madani. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H.
Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Hudzail al-Allaf,
Ibrahim bin Sayyar an-Naddham, Abu Basyar al-Marisi, Utsman al-Jahiz, Ibnu
al-Mu’ammar, dan Abu Ali al-Juba’i
b.
Di Baghdad
yang dipimpin oleh Basyar bin al-Mu’tamar salah seorang pemimpin Basrah yang
dipindah ke Baghdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu
Musa Al- Murdan, Ahmad bin Abi Dawud, Ja’far bin Mubasysyar, dan Ja’far bin
Harib al-Hamdani.[4]
Inilah imam-imam Mu`tazilah sekitar abad ke 2 dan ke 3
Hijriah di Basrah dan di Baghdad. Adapun khalifah-khalifah Islam yang secara
terang-terangan menganut aliran ini dan mendukungnya adalah :
a.
Khalifah Yazid
bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H.)
b.
Khalifah
Makmun bin Harun ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah pada tahun 198-218 H.)
c.
Khalifah
al-Mu’tashim bin Harun ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H.)
d.
Khalifah Al-
Watsiq bin al-Mu’tashim (Khalifah Bani Abbasiah dari tahun 227-232 H.)
Dari dukungan keempat khalifah tersebut
faham-faham aliran mu’tazilah menjadi tersebar luas. Diantara ulama mu’tazilah
yang terkenal yaitu:
a.
Utsman Al-
Jahiz, pengarang kitab al-Hiwan
b.
Syarif
Radhi, pengarang kitab Majazul Qur’an
c.
Abdul
Jabbar bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Qadhi`ul Qudhat, pengarang kitab Syarah
Ushulil Khamsah
d.
Zamakhsyari
pengarang tafsir al- Kasysyaf
e.
Ibnu Abil
Hadad pengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah.
2.
Tokoh-Tokoh
Aliran Mu’tazilah
a.
Wasil bin
‘Atha
Wasil bin ‘Atha dilahirkan di Madinah tahun
70 H. Ia adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran mu’tazilah.
Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain
al-manzilatain, paham kekuasaan manusia dalam memilih dan menentukan jalan
hidupnya masing-masing, dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga
ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah
bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b.
Abu Huzail
al-Allaf.
Abu Huzail al-Allaf dilahirkan tahun 135
H/751 M dan wafat tahun 235 H/849 M, ia adalah orang yang mendirikan sekolah
mu’tazilah pertama di kota Basrah. Lewat sekolah ini, pemikiran mu’tazilah
dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme
dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof
Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk
menyusun ajaran-ajaran mu’tazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain
membuat uraian mengenai pengertian nafyu as-sifat (menolak semua sifat
Allah). Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan
Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan
oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang qadim selain Tuhan karena kalau
dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan),
berarti sifat-Nya itu qadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya
yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan
yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula manusia dapat
sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat
baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran mu’tazilah
yang disebut ushulul Khamsah.
c.
Al-Juba’i.
Nama asli dari al-Juba’i yaitu Abu Ali
Muhammad bin Abdul Wahab. Ia dilahirkan tahun 25 H/849 M di Jubai dan wafat
tahun 303 H/915 M di Basrah. Al-Juba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari,
pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah
SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah
SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, kalau dikatakan Tuhan
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan
mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya.
d.
Az-Zamakhsyari
Az-Zamakhsyari dilahirkan pada tahun
467 H/1075 M dan wafat pada tahun 538 H/1144M. Selama hidupnya ia
banyak mengadakan perlawatan dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian
ke Makkah untuk bertempat di sana beberapa tahun dan akhirnya menghembuskan
nafas terakhirnya di Jurjan (Persi-Iran). Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir,
nahwu, dan lainnya.[5]
3.
Pokok-Pokok
Ajaran Mu’tazilah
Al- Kayyath, tokoh mu’tazilah pada abad ke 3 H
menegaskan dalam kitabnya Al-Intisar bahwa tidak ada seorang pun yang
berhak mengaku sebagai penganut mu’tazilah sebelum ia mengakui Al-Ushul Al-
Khamsah (lima dasar) yaitu at-Tauhid (keesaan Tuhan), al-‘Adl (keadilan
Tuhan), al-Wa’du wa al-Wai’id (janji dan ancaman), al-Manzilah bain al-Manzilatain
(tempat di antara dua tempat), dan Amar Ma’ruf Nahy Mungkar. Jika
telah menganut semuanya, maka ia penganut paham mu’tazilah.[6]
a.
At- Tauhid
At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan
prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab
teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun bagi mu’tazilah tauhid
memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang
dapat mengurangi arti keesaan-Nya. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, mu’tazilah
menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat.
Konsep ini bermula dari founding father aliran ini, yakni Wasil bin
‘Atha. Ia mengingkari bahwa mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah
termasuk esensi Allah. Menurutnya, jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal (qadim),
itu berarti terdapat “pluralitas yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan
kepada Allah adalah dusta belaka.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut
menjelaskan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat
dengan mata kepala baik di dunia maupun di akhirat kelak. Juga,
keyakinan tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan, begitupula sebaliknya,
Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tegasnya Mu’tazilah menolak
antropomorfisme (ajaran yang menyatakan tuhan dapat menjelma menjadi sosok
makhluk).
b.
Al-‘Adl
(keadilan Tuhan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua
adalah al-‘Adl, yang berarti Tuhan Maha Adil.
Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan,
karena Tuhan Maha sempurna dia pasti adil. Faham
ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang
manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik.
Begitupula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.
Menurut
aliran mu’tazilah manusia adalah merdeka dalam
segala perbuatan dan bebas bertindak, sebab itu mereka diazab atas
perbuatan dan tindakannya. Inilah yang mereka maksud keadilan itu.
Ajaran tentang keadilan berkaitan
dengan beberapa hal, antara lain :
1)
Perbuatan manusia. Manusia
menurut mu’tazilah melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas
dari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihannya. Tuhan hanya menyuruh
dan menghendaki yang baik. Konsep ini memiliki konsekuensi logis
dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di
akhirat merupakan balasan perbuatannya di
dunia.
2)
Berbuat
baik dan terbaik Maksudnya adalah kewajiaban Tuhan untuk berbuat baik,
bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat atau aniaya karena itu
akan menimbulkan persepsi bahwa Tuhan tidak maha sempurna.
c.
Al-Wa’ad
wa al-Wa’id (janji dan ancaman)
Ajaran ini berisi
tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak akan
melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya
sendiri. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi
peluang bagi Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu memberi pahala orang
yang ta’at dan menyiksa orang yang berbuat maksiat. Berdasarkan janji dan
ancaman Tuhan ini aliran mu’tazilah tidak menerima adanya syafaat di akhirat
karena mereka menganggap syafaat bertentangan dengan prinsip al-Wa’ad wa
al-Wa’id.
d.
Al-Manzilah
bain al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat)
Inilah ajaran yang mula-mula
menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang
mukmin yang melakukan dosa besar, seperti dalam sejarah, khawarij
menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat
bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya
sepenuhnya di serahkan kepada Tuhan.
Menurut pandangan
Mu’tazilah orang Islam yang mengerjakan dosa besar yang sampai matinya belum
taubat, orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya.
Mereka itu dinamakan orang fasiq, jadi mereka di tempatkan di suatu tempat
diantara keduanya.
e.
Amr Ma’ruf wa Nahi Munkar (Menyuruh kebaikan dan
melarang keburukan)
Ajaran ini menekankan keberpihakan
kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimananan
seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari
kejahatan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran
kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya. Menurut Mu’tazilah jika memang
diperlukan untuk menggunakan kekerasan maka kekerasan itupun dapat ditempuh untuk
mewujudkan ajaran mu’tazilah. Sehingga tercatat dalam sejarah bahwa kaum mu’tazilah
pernah membunuh ulama-ulama Islam yang bertentangan dengan mereka, di antaranya
yaitu ulama Islam yang terkenal Syaikh Buwaithi seorang ulama besar pengganti Imam
Syafi’i dalam suatu peristiwa Qur’an Makhluk.[7]
Demikian lah lima hal pokok yang disepakati dalam aliran mu’tazilah yang konon
disebutkan mereka terpecah lebih dari 20 golongan namun mereka tetap sepakat
dalam ke lima hal tersebut.
Adapun ciri-ciri mu’tazilah yaitu
mereka sangat suka berdebat terutama di hadapan umum karena mereka berkeyakinan
bahwa kekuatan akal fikiran mampu mematahkan argumentasi lawan-lawannya.
Sekitar dua abad lamanya topik utama yang mereka perdebatkan antara lain:
a.
Sifat-sifat
Allah itu ada atau tidak ada
b.
Baik
dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal fikiran
c.
Orang
yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak
d.
Al-Quran
itu makhluk atau bukan
e.
Perbuatan
manusia itu dijadikan sendiri atau dijadikan oleh Allah
f.
Allah
itu bisa dilihat di akhirat nanti atau tidak
g.
Alam
itu qadim atau hadits
h.
Allah
itu wajib membuat yang baik (shilah) dan yang lebih baik (ashlah).[8]
C.
PENUTUP
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal
dari i’tazala yang berarti berpisah atau menyisihkan diri. Aliran mu’tazilah
merupakan aliran teologi islam yang lebih mengedepankan
logika sehingga dikenal sebagai kaum rasionalis dalam Islam.
Kaum mu’tazilah secara teknis terdiri
dari dua golongan dan masing-masing golongan mempunyai pandangan yang berbeda.
Golongan tersebut ialah Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni pada
peristiwa tahkim antara Ali dan Mu’awiyah dan golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah
akibat adanya peristiwa tahkim.
Sedangkan ajaran pokok mu’tazilah
yakni tentang : Keesaan (at-Tauhid), Keadilan Tuhan (Al-Adlu), Janji dan
ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu), Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal
manzilatain), Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan (‘amar ma’ruf nahi
munkar).
D.
Daftar
Pustaka
Ahmad,
Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1998
Nasir, Sahilun A. Pengantar
Ilmu Kalam. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. 1994
Persada. 1994
Rozak, Abdul &
Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2012
[1]Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada,
1994), h. 106
1994), h. 106
[2]Abdul Rozak & Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2012), h.97-98
[4]Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Op.Cit., h.
108-109
[5]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka
Setia,
1998), h. 164-165
1998), h. 164-165
[6]Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Op.Cit., h.
111-112
[7]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Op.Cit., h.
166-168
[8]Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Op.Cit., h.
117-118