AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Alquran
merupakan kalam Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman utama dalam setiap aspek
kehidupan umat Islam, sehingga tentunya Alquran harus dipahami secara mendalam.
Pemahaman Alquran dapat diperoleh dengan mendalami berbagai pembahasan dalam Ulumul
Quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan Ulumul Quran adalah
ilmu yang membahas tentang ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat.
Term muhkamat dan mutasyabihat
telah menjadi pembicaraan sejak masa klasik dan masih menarik untuk dibicarakan
pada saat ini. Umumnya ulama tafsir dan mutakallimun memiliki pendapat
yang sama tentang muhkamat namun berbeda tentang term yang kedua,
baik tentang arti mutasyabihat sendiri maupun tentang apakah ayat-ayat mutasyabihat
bisa dipahami manusia atau tidak karena kesamaran maknanya.
Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisaburi pernah mengemukakan
tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Alquran terhadap muhkamat dan mutasyabihat.
Pertama, seluruh ayat Alquran adalah muhkamat berdasarkan
firman Allah dalam Q.S. Hud ayat 1, sebagai berikut.
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ
حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Artinya:
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci[1],
yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu”.
Kedua, seluruh ayat Alquran adalah mutasyabihat berdasarkan
firman Allah dalam Q.S. Az-Zumar ayat 23, sebagai berikut.
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا
مَثَانِيَ
Artinya:
“Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”.[2]
Ketiga, pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Alquran terbagi
dalam dua bagian, yaitu muhkamat dan mutasyabihat[3] berdasarkan firman Allah dalam
Q.S. Ali Imran ayat 7, sebagai berikut.
Q.S. Ali Imran ayat 7, sebagai berikut.
هُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ
الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو
الألْبَابِ
Artinya:
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Alquran) kepada kamu. di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal
tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Tiga
ayat di atas menjadi dasar dalam pembahasan tentang muhkamat dan mutasyabihat.
Sekilas ketiga ayat di atas nampak saling bertentangan namun pada hakikatnya
tidaklah bertentangan. Usman dalam Ulumul Quran menjelaskan bahwa
seluruh kandungan Alquran itu muhkamat maksudnya adalah bahwa ia kukuh
dan jelas serta tidak mengandung cacat dan kelemahan sedikitpun dari segala sisi.
Dan seluruh kandungan Alquran itu mutasyabihat maksudnya adalah bahwa
ayat-ayatnya berada dalam satu ragam keindahan, gaya, kemanisan bahasa, dan
daya ungkap yang luar biasa.[4]
Tentunya pembahasan mengenai muhkamat dan mutasyabihat merupakan
pembahasan yang sangat menarik dan hendaknya dapat dipahami secara mendalam.
Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian pemahaman
Alquran. Jika kita tengok dalam Ilmu Kalam, hal yang mempengaruhi adanya
perbedaan pendapat antara firqoh satu dengan yang lainnya salah satunya adalah
pemahaman tentang ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat.
Dengan
demikian agar tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Alquran khususnya
dalam ranah Muhkamat dan Mutasyabihat, maka penulis menyusun
makalah yang membahas tentang kedua hal tersebut dengan judul “Ayat-Ayat Muhkamat
dan Mutasyabihat”.
Dalam pembuatan makalah ini penulis tidak
mencantumkan jumlah dan bilangan ayat muhkamat serta mutasyabihat
menurut pendapat ulama dikarenakan kurangnya referensi yang kami miliki dan
juga tidak adanya kesepakatan para ulama dalam menentukan jumlah bilangan ayat muhkamat
dan mutasyabihat.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apakah pengertian muhkamat dan mutasyabihat?
b.
Bagaimana sikap para ulama
terhadap ayat muhkamat dan mutasyabihat?
c. Apa saja
contoh-contoh ayat muhkamat dan mutasyabihat?
d. Apa hikmah adanya
ayat muhkamat dan mutasyabihat?
3.
Tujuan
Pembelajaran
a.
Dapat mengetahui pengertian dari muhkamat dan mutasyabihat.
b.
Dapat membedakan bagaimana sikap para ulama terhadap ayat muhkamat dan mutasyabihat.
c.
Dapat mengetahui contoh-contoh ayat muhkamat dan mutasyabihat.
d.
Dapat memahami hikmah adanya ayat muhkamat dan mutasyabihat.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Muhkamat dan Mutasyabihat
a.
Pengertian secara bahasa
Muhkamat secara bahasa berasal dari kata ihkam yang berarti
kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan.[5] Kata ihkam
berakar dari kata hakama yang berarti
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan
memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan Muhkamat adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas,
fasih dan membedakan antara yang hak dan batil.[6]
Mutasyabihat secara bahasa berasal dari kata syabaha, yakni
bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal
itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara
keduanya secara konkrit atau abstrak.[7]
b. Makna secara Istilah
Banyak sekali pendapat para
ulama tentang pengertian muhkamat dan mutasyabihat, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang
diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1) Muhkamat ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung
kemungkinan nasakh. Mutasyabihat ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik
secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya,
seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih
al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada
pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2) Muhkamat ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui
takwil. Mutasyabihat ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datangnya
hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal
surat (fawatih al-suwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunah
sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3) Muhkamat ialah ayat-ayat yang
tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabihat ialah ayat-ayat yang mengandung banyak
kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan
kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4) Muhkamat ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabihat ialah ayat yang tidak berdiri sendiri,
tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan
ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam
menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad r.a.
5) Muhkamat ialah ayat yang seksama susunan dan
urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabihat ialah ayat yang makna seharusnya tidak
terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui
konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam Mutasyabihat menurut pengertian ini. Pendapat ini
dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
6) Muhkamat ialah ayat yang
jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabihat
ialah lawannya Muhkamat atas ism-ism
(kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah
(samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7) Muhkamat ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabihat ialah ayat yang ditunjukkan maknanya
tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat
ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.[8]
Masih banyak lagi terdapat
perbedaan makna yang diungkapkan para ulama berkenaan dengan definisi muhkamat
dan mutasyabihat. Namun yang terpenting menurut Manna’ Al-Qaththan ada
tiga hal yang harus dipahami mengenai pengertian muhkamat dan mutasyabihat
yaitu sebagai berikut.
1) Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya,
sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
2) Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu
segi, sedang mutasyabih mengandung banyak segi.
3)
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa
memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak demikian; ia
memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. [9]
Dari definisi-definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa Muhkamat adalah ayat-ayat
yang bermakna jelas. Sedangkan Mutasyabihat adalah ayat yang maknanya tidak jelas sehingga diperlukan pemahaman secara
mendalam.
2.
Sikap Para Ulama
Terhadap Muhkamat dan Mutasyabihat
Perbedaan sikap para ulama muncul dalam memahami persoalan
apakah ayat-ayat mutasyabihat dapat diketahui oleh manusia atau hanya
Allah saja yang mengetahui. Perbedaan antar ulama tersebut bermuara pada cara
memahami dan menjelaskan Q.S. Ali Imran: 7 sebagai berikut.
هُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ
الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلا أُولُو الألْبَابِ
As-Suyuthi menerangkan dalam memahami ayat tersebut
muncul dua pandapat. Yang pertama, وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
di-athaf-kan pada lafaz اللَّهُ, sementara
lafaz يَقُولُونَ
sebagai hal. Itu artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabihat pun diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya. Yang
kedua, وَالرَّاسِخُونَ
فِي الْعِلْمِ sebagai mubtada’
dan يَقُولُونَ
sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabihat hanya
diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya
mengimaninya. [10]
Diantara
ulama yang berpihak pada ungkapan gramatikal yang pertama. Seperti Imam
An-Nawawi, di dalam Syarah Muslim, ia berkata, “Pendapat inilah yang
paling shahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan
uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.”. Kemudian ada Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Ishaq Asy-Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayatpun
yang maksudnya hanya diketahui Allah. Para ulama sesungguhnya juga
mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?”.
Namun sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, lebih berpihak pada
gramatikal ungkapan yang kedua sebagai berikut.
a.
Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya
mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW
pernah bersabda ketika mengomentari Q.S. Ali Imran ayat 7 sebagai berikut.
“Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti
ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya,
orang itulah yang dicela Allah, maka berhati-hatilah menghadapi mereka”.
b.
Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif, mengeluarkan
sebuah riwayat dari Al-A’masy. Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn
Mas’ud disebutkan:
“Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya
milik Allah semata, sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, “Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih”.
c.
Imam Malik pernah ditanya mengenai
pengertian lafaz istawa. Ia mengatakan: “Istawa adalah diketahui. dan bagaimananya
adalah sesuatu yang tidak diketahui. Bertanya tentangnya
adalah bid’ah.
Ar-Raghib
Al-Asfahani sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar dalam Ulum Alquran mengambil
jalan tengah dalam masalah ini. Beliau membagi mutasyabihat dari segi
kemungkinan mengetahuinya menjadi tiga bagian sebagai berikut.
a.
Bagian yang tak ada jalan untuk
mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat.
b.
Bagian manusia menemukan sebab-sebab
mengetahuinya, seperti lafaz-lafaz yang ganjil, sulit difahami namun bisa
ditemukan artinya.
c.
Bagian yang terletak di antara dua
urusan itu yang hanya diketahui oleh Ulama yang mumpuni saja.[11]
Berkenaan dengan perbedaan
sikap para ulama ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua
mazhab yaitu mazhab salaf dan mazhab
khalaf.[12]
1) Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan
mengimani sifat-sifat Mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan
Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan
mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Alquran serta menyerahkan urusan
mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan
mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula
mazhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang
makna istiwa`, dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ
بِدْعَةٌ
”Istiwa itu maklum,
caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada).”
Maksudnya, makna lahir dari
kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian
yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat, sebab pengertian yang
demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang
mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah
tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang
sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada). Mazhab ini
juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى
الْعِلْمِ امَـنَّا بِه
Artinya:
Dan
tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam
ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya
dari al-Hakim dalam mustadraknya).
2) Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafaz yang
makna lahirnya mustahil kepada makna yang layak dengan zat Allah, karena itu
mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai
istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah
terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan
kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha
Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah”
dengan zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri”
dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf.
Alasan mereka berani
menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat, menurut mereka,
suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafaz dari keadaan kehampaan
yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafaz terlantar tak
bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka
nalar mengharuskan untuk melakukannya.
Kelompok ini, selain didukung
oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli
berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang
berbunyi:
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ
الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـا
مِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
Artinya:
“dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya
kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya
adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)
Di samping dua mazhab di atas,
ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat
yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika
takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini
maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang
tidak layak bagi-Nya.
Dengan demikian dari penuturan
di atas penulis sendiri lebih sepakat dengan mazhab kedua, mazhab khalaf. Karena pendapat mazhab khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan
intelektual yang semakin hari semakin berkembang, dengan syarat penakwilan
harus di lakukan oleh orang-orang yang benar-benar tahu isi Alquran, atau dalam
bahasa Alquran adalah ar-rasikhuna fil ‘ilmi.
3. Contoh-Contoh Ayat
Muhkamat dan Mutasyabihat
Para ulama memberikan contoh
ayat-ayat muhkamat dalam Alquran dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan
hukum. Seperti halal dan haram, kewajiban dan larangan, janji dan ancaman.
Persoalan muhkamat yang sudah jelas tentunya tidak perlu dibahas lagi,
namun demikian untuk memudahkan akan diberikan salah satu contoh dari ayat muhkamat,
seperti Q.S. Al-Baqarah ayat 43 sebagai berikut.
وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: ”dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ruku'lah beserta orang-orang yang ruku”.
Kemudian firman Allah dalam
Q.S. Al-Baqarah ayat 275 sebagai berikut.
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: ”Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”.
Tentunya masih banyak lagi
contoh-contoh lain dari ayat muhkamat yang secara pemaknaan sangatlah
jelas dan mudah dipahami. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat lebih banyak
mengesankan bahwa Allah mempunyai organ tubuh, seperti memiliki wajah, mata,
tangan, kaki, berada di atas makluk-Nya, berada di langit dan bumi, bersemayam
di atas arsy, dan mendatangi hamba-hambanya.[13]
Diantara contoh-contoh ayat mutasyabihat
adalah sebagai berikut.
a. Q.S. Thoha ayat 5
الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: ”Tuhan yang Maha Pemurah.
yang bersemayam di atas 'Arsy”.
b. Q.S. Al-Fath ayat 10
يَدُ اللَّهِ
فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Artinya: ”tangan
(kekuasaan) Allah di atas tangan mereka.”
c. Q.S. Al-An’am ayat 18
وَهُوَ
الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
Artinya: ”dan Dialah yang
berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi
Maha mengetahui”.
d. Q.S. Al-Fajr ayat 22
وَجَاءَ رَبُّكَ
وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
Artinya: ”dan
datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris”.
e. Q.S. Al-Fath ayat 6
وَغَضِبَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ
Artinya: ”Allah
memurkai dan mengutuk mereka.”
f. Q.S. Ar-Rahman ayat
27
وَيَبْقَى وَجْهُ
رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ
Artinya: ”dan tetap kekal
Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
g. Q.S. Thoha ayat 39
..... وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي
Artinya: ..........”dan
supaya kamu diasuh di bawah (mata-Ku)
pengawasan-Ku”.
pengawasan-Ku”.
h. Q.S. Al-Qashash ayat
88
كُلُّ شَيْءٍ
هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ
Artinya: ”tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”.
i.
Q.S. Az-Zumar ayat 67
وَالسَّماوَاتُ
مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
Artinya: ”dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya”.
Selain itu menurut As-Suyuthi juga termasuk ke dalam
kategori mutasyabihat yaitu huruf permulaan surah.[14]
Adapun perincian huruf permulaan awal surah dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut.
Awalan surah yang terdiri dari satu huruf
|
||
No
|
Nama Surah
|
Huruf Permulaan Surah
|
1
|
Surah Shad
|
صَ. وَالْقُرْأَنُ ذِى الذِّكْر
|
2
|
Surah Qaaf
|
قَ. وَالْقُرْأَنُ الْمَجِيْدُ
|
3
|
Surah Al-Qolam
|
نَ. وَالقَلَمُ وَمَايَسْطُرُوْن
|
Awalan surah yang terdiri dari dua huruf
|
||
No
|
Nama Surah
|
Huruf Permulaan Surah
|
1
|
Surah Al-Mukmin
|
حم
|
2
|
Surah Fushilat
|
حم
|
3
|
Surah
Asy-Syura
|
حم
|
4
|
Surah
Az-Zukhruf
|
حم
|
5
|
Surah
Ad-Dukhan
|
حم
|
6
|
Surah
Al-Jasyiah
|
حم
|
7
|
Surah Al-Ahqaf
|
حم
|
8
|
Surah Thaha
|
طه
|
9
|
Surah An-Naml
|
طس
|
10
|
Surah Yasin
|
يس
|
Awalan surah yang terdiri dari tiga huruf
|
||
No
|
Nama Surah
|
Huruf Permulaan Surah
|
1
|
Surah
Al-Baqarah
|
الم
|
2
|
Surah Ali
Imran
|
الم
|
3
|
Surah
Al-Ankabut
|
الم
|
4
|
Surah Ar-Rum
|
الم
|
5
|
Surah Luqman
|
الم
|
6
|
Surah
As-Sajadah
|
الم
|
7
|
Surah Yunus
|
الر
|
8
|
Surah Yunus
|
الر
|
9
|
Surah Yusuf
|
الر
|
10
|
Surah Yusuf
|
الر
|
11
|
Surah Al-Hijr
|
الر
|
12
|
Surah
Asy-Syu’ara
|
طسم
|
13
|
Surah
Al-Qoshosh
|
طسم
|
Awalan surah yang terdiri dari empat huruf
|
||
No
|
Nama Surah
|
Huruf Permulaan Surah
|
1
|
Surah
Al-A’araf
|
المص
|
2
|
Surah Ar-Ra’du
|
المر
|
Awalan surah yang terdiri dari lima huruf
|
||
No
|
Nama Surah
|
Huruf Permulaan Surah
|
1
|
Surah Maryam
|
كهيعص
|
Terjadi perbedaan pendapat dari para ulama berkenaan
dengan persoalan ini, sebagian ulama menahan diri dan mengembalikan maknanya
hanya kepada Allah seperti misalnya dalam huruf permulaan surah tersebut cukup
ditafsirkan dengan kalimat Allahu a’lamu bimurodih (Ungkapan untuk
menyerahkan pemaknaannya hanya Allah yang mengetahuinya). Namun sebagian yang
lain berupaya untuk memberikan penafsiran terhadap potongan huruf tersebut.
As-Suyuti menukil pendapat ibnu Abbas tentang huruf tersebut adalah sebagai berikut: diantaranya: الم berarti اعلم انا الله yang berarti hanya Aku (Allah) yang paling tahu, kemudian المص yang berarti A’lamu wa Afshilu yaitu hanya aku yang paling mengetahui dan yang menjelaskan suatu perkara, sedangkan المر berarti Ana Ara yang berarti aku melihat. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa makna كهيعص yaitu Kaf dari kata Karim yang berarti mulia, Ha adalah Hadin yang berarti memberi petunjuk, Ya adalah Hakim yang berarti yang maha bijaksana, Ain yaitu Alim yang berarti yang maha mengetahui, dan Shad yaitu Shadiq yang berarti yang maha Benar.[15]
As-Suyuti menukil pendapat ibnu Abbas tentang huruf tersebut adalah sebagai berikut: diantaranya: الم berarti اعلم انا الله yang berarti hanya Aku (Allah) yang paling tahu, kemudian المص yang berarti A’lamu wa Afshilu yaitu hanya aku yang paling mengetahui dan yang menjelaskan suatu perkara, sedangkan المر berarti Ana Ara yang berarti aku melihat. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa makna كهيعص yaitu Kaf dari kata Karim yang berarti mulia, Ha adalah Hadin yang berarti memberi petunjuk, Ya adalah Hakim yang berarti yang maha bijaksana, Ain yaitu Alim yang berarti yang maha mengetahui, dan Shad yaitu Shadiq yang berarti yang maha Benar.[15]
4. Hikmah Adanya Ayat
Muhkamat dan mutasyabihat
Diantara hikmah keberadaan
ayat-ayat mutasyabihat di dalam Alquran, Rosihon Anwar mengemukaan ada
tiga hikmah yang dapat kita petik dari adanya ayat mutasyabihat yaitu
sebagai berikut.
a.
Memperlihatkan
kelemahan akal manusia.
Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan
ayat-ayat mutasyabihat sebagaimana Allah SWT memberikan cobaan pada
badan untuk beribadah. Seandainya akal merupakan anggota badan paling mulia itu
tidak di uji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan
keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.
Ayat-ayat mutasyabihat merupakan sarana
bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidak mampuan
akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabihat itu.
b.
Teguran
bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih tanpa dasar keilmuan.
Pada penghujung Q.S. Ali Imran ayat 7, Allah
menyebutkan
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ Sebagai cercaan terhadap orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabihat. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabihat tanpa dasar keilmuan yang memadai.
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ Sebagai cercaan terhadap orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabihat. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabihat tanpa dasar keilmuan yang memadai.
c.
Memberikan
pemahaman absrak ilahiah kepada manusia melalui
pengalaman inderawi yang biasa
disaksikannya. [16]
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh
manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi terlebih dahulu. Dalam kasus
sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat
lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, bahwa dirinya tidak sama
dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.
Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya ada tiga
hikmah yang dapat kita ambil dari persoalan muhkamat dan mutasyabihat tersebut,
hikmah-hikmah itu adalah sebagai berikut.
a. Andaikata seluruh
ayat Alquran terdiri dari ayat-ayat muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat
yang jelas.
b. Seandainya seluruh
ayat Alquran mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi
manusia, orang yang benar
keimanannya yakin bahwa Alquran seluruhnya dari sisi Allah, segala yang
datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
c. Alquran yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai
kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taklid buta, bersedia membaca Alquran dengan khusyu sambil merenung dan berpikir. [17]
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya muhkamat dan mutasyabihat sebenarnya merupakan
ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Alquran ditujukan kepada semua kalangan,
karena bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada
yang senang terhadap bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal
suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash,
dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang
menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan, ada
manusia intelek dan manusia spiritual.[18]
Menurut hemat penulis kalau hikmah ini kita kaitkan dengan dunia pendidikan,
setidaknya Allah telah mengajarkan ”ajaran” muhkamat dan mutasyabihat kepada manusia agar kita mengakui adanya perbedaan
karakter pada setiap individu, sehingga kita harus menghargainya. Kalau kita
sebagai guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam
menyampaikan pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda
dalam kecerdasan dan karakter.
C. PENUTUP
1. Simpulan
Adapun yang dapat penulis simpulkan dari
penulisan makalah ini adalah:
a.
Muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sehingga tidak
menimbulkan keraguan dan tidaklah memerlukan penafsiran mendalam.
b.
Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang perlu ditafsirkan secara mendalam, dan setelah itu baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
c.
Ayat-ayat mutasyabihat
adalah merupakan salah satu kajian dalam
Alquran yang para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
Alquran yang para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
d.
Kita dapat mengatakan bahwa
semua ayat Alquran itu muhkamat jika maksud muhkamat adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan
bahwa semua ayat itu adalah mutasyabihat, jika maksud mutasyabihat itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal Balaghah dan I’jaznya.
2.
Saran
Ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat adalah dua hal yang saling melengkapi dalam Alquran. Muhkamat sebagai ayat yang tersurat
merupakan bukti bahwa Alquran berfungsi sebagai bayan
(penjelas) dan hudan (petunjuk). Mutasyabihat sebagai ayat yang tersirat merupakan bukti bahwa Alquran berfungsi sebagai mukjizat dan kitab sastra terbesar
sepanjang sejarah manusia yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Sebagai ummat Islam hendaknya
kita lebih merenungi lagi maksud-maksud Allah menurunkan ayat-ayat tersebut
dalam bentuk yang berlainan. Dan menjadikannya pedoman dalam seiap
langkah kita.
Akhirnya, Wallahu a’lam bi as-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,
Manna’. Mabahis Fi Ulumil Quran (Pengantar Studi Ilmu Alquran).
Terjemah: Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2007
Anwar, Rosihon. Ulum Alquran. Bandung:
Pustaka Setia. 2012
As-Suyuthi.
Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar. Al-Itqan Fi Ulum Alquran. Beirut:
Darul Kutub AL-Ilmiyah. 2007
Athaillah ,.A. Rasyid
Ridha; Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar. Jakarta: Erlangga.
2006
Chirzin, Muhammad. Alquran dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Prima Yasa.2003
Qardhawy, Yusuf. Alquran dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Terjemah: Baharuddin Fanani. Jakarta: Rabbani Press. 1997
Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofi’i. Ulumul Qur’an I. Bandung:
CV. Pustaka setia. 2000
Usman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta:
Teras. 2009
[1]Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai
ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan
lain-lain. (Al-Quran Digital).
[2]Maksud berulang-ulang di sini ialah hukum-hukum, pelajaran
dan kisah-kisah itu diulang-ulang menyebutnya dalam Al Quran supaya lebih kuat
pengaruhnya dan lebih meresap. sebahagian ahli tafsir mengatakan bahwa
Maksudnya itu ialah bahwa ayat-ayat Al Quran itu diulang-ulang membacanya
seperti tersebut dalam mukaddimah surat Al Faatihah (Al-Quran Digital)
[3]Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar As-Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulum
Al-Quran, (Beirut: Darul Kutub AL-Ilmiyah, 2007), h. 309
[4]Usman,
Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 226
[6]Muhammad Chirzin, Al-Qur’an
dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,2003), h. 70
[9]Manna’ Al-Qaththan, Mabahis Fi Ulumil Quran (Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an), Terjemah: Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007), h.266
[10]Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar As-Suyuthi, Op.Cit., h.
311
[11]Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2012),
h.125
[13]A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir
al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 93
[14]Dilafalkan secara terpisah karena hurufnya berdiri sendiri dan
merupakan pembuka surah. Disebut dengan istilah Fawatih as-Suwar. Lihat
Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar As-Suyuthi, Op.Cit., h. 319
[16]Rosihon
Anwar. Op.Cit. h. 134-135
[17]Muhammad
chirzin, Op.cit. hal. 74-75
[18]Yusuf Qardhawy, Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, Terjemah: Baharuddin Fanani, (Jakarta: Rabbani Press, 1997), h.
226