DASAR-DASAR NORMATIF PENDIDIKAN ISLAM, NILAI AKIDAH, SYARIAH, IBADAH, AL-DHARURIYAT AL-SITTAH



DASAR-DASAR NORMATIF PENDIDIKAN ISLAM, NILAI AKIDAH, SYARIAH, IBADAH, AL-DHARURIYAT AL-SITTAH
Oleh: Marzuki Muhidin [1]

A.    Pendahuluan
Pendidikan merupakan aspek penting dalam Agama Islam, sebagai sarana pengembangan potensi manusia dalam rangka optimalisasi fungsi utama manusia sebagai abdullah dan khalifatullah. Oleh karena itu pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai Ilahiyah baik dalam menyusun teori maupun praktek pendidikan, hal ini yang menjadi ciri khas pendidikan Islam
.[2]
Manusia sebagai abdullah dituntut menjadi pribadi yang saleh dalam setiap dimensi, baik berhubungan dengan dimensi ketuhanan, dimensi kemanusiaan, dan dimensi kealaman (termasuk ekologi). Sedangkan manusia sebagai khalifatullah dituntut untuk dapat mengemban amanah Tuhan dalam rangka pemeliharaan alam semesta yang merupakan  sumber utama kehidupan manusia.
Dalam pada itu pendidikan Islam menetapkan kerangka dasar normatifnya yang meliputi aspek keimanan, aspek syari’ah, aspek ibadah, aspek mu’amalah. Aspek-aspek ini menjadi poros utama dalam pemeliharaan al-dharuriyat al-sittah.
1
 
Aspek nilai-nilai ajaran Islam yang dijadikan sebagai landasan atau pedoman bagi umat Islam dalam kehidupan sehari-hari pada intinya dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu nilai-nilai akidah (keimanan), nilai-nilai syariah (ibadah dan muamalah), dan nilai-nilai akhlak. Walaupun demikian ada sebagian ahli yang memasukkan akhlak ke dalam bidang syari’ah.[3]
Kamrani Buseri menggunakan istilah nilai ilahiah, yakni nilai yang dikaitkan dengan konsep, sikap dan keyakinan yang memandang berharga apa yang bersumber dari Tuhan, yang mencakup nilai imaniah, ubudiah dan muamalah.[4]
Kamrani Buseri tidak memasukkan akhlak sebagai bagian dari nilai ilahiah. Dalam konteks ini, menurut beliau bahwa akhlak sebenarnya merupakan aplikasi dan refleksi dari nilai ilahiah; imaniah, ubudiah dan muamalah. Hal ini karena aspek moral atau akhlak muncul dalam diri seseorang karena pengaruh di luar nilai-nilai tersebut, bahkan bisa saja dipengaruhi oleh falsafah humanis. Sehingga bagi seseorang yang beragama, akhlak merupakan refleksi dari dimensi keberagamaan yang terintegrasi ke dalam keperibadiannya. Keyakinan yang bersumber dari agama memiliki pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku individu karena merupakan puncak sumber nilai tertinggi dan lebih bersifat absolut.[5]
Pada makalah ini akan disampaikan secara singkat-komprehensif tentang dasar-dasar normatif pendidikan dalam frame Islam, serta kaitannya dengan al-dharuriyah al-sittah.
B.     Dasar-Dasar Normatif Pendidikan Islam
            Mengacu pada kerangka dasar Agama Islam yang meliputi aspek iman dan islam. Maka pendidikan Islam pula mendasari kerangka pendidikannya pada dua aspek tersebut yang mencakup seperangkat nilai akidah, syari’ah, dan ibadah.[6]

1.      Nilai Akidah
Akidah menurut bahasa berasal dari bahasa arab yaitu aqada, ya’qidu, uqdatan wa’aqidatan yang berarti ikatan atau perjanjian dengan maksud sesuatu yang menjadi tempat bagi hati dan hati nurani terikat kepadanya.[7] Menurut pendapat Syekh Hasan Al-Banna, akidah ialah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang dan tenteram kepadanya dan yang menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.[8]
Berdasarkan kitab Fathurrahman,[9] kata ‘aqada muncul dalam alquran dalam bentuk ‘aqadat dan ‘aqqadtum sebanyak 2 kali yaitu:
4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR
Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.[10]
Ÿw ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏZ»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nà2äÏ{#xsム$yJÎ/ ãN?¤)tã z`»yJ÷ƒF{$#
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.[11]

Akidah dalam konteks Islam menurut Rahman Ritonga, berarti tali pengikat batin manusia dengan diyakininya Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa yang patut disembah dan Pencipta serta Pengatur alam jagad ini.[12]
Menurut Daud Ali akidah secara etimologi adalah ikatan-sangkutan. Sedangkan secara terminologi akidah berarti iman atau keyakinan. Kedudukan iman dalam agama Islam sangat sentral dan fundamental, sebab iman merupakan asas sekaligus sangkutan atau gantungan segala sesuatu dalam Islam, dan menjadi titik tolak kegiatan seorang muslim dalam menjalani kehidupan.[13]
Adapun dari apa yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akidah dalam Islam memiliki pengertian proses pengembangan kualitas manusia dalam hal akidah atau keimanan sesuai syariat Islam.
Tauhid sebagai prima causa seluruh keyakinan islam menjadi inti dari rukun iman, yakni berkeyakinan bahwa Allah sebagai satu-satunya zat yang esa dalam zat, sifat, perbuatan dan perwujudan-Nya, yang berlainan dengan segala sifat-sifat makhuk yang baharu. Dengan demikian, bila seseorang telah menerima tauhid sebagai prima causa maka dia akan menerima rukun-rukun iman yang lain sebagai akibat logis penerimaan tauhid tersebut. Jadi tidak mungkin seseorang beriman kepada Allah tetapi dia mengingkari rukun iman yang lain.
Konsep akidah dengan bentuk keimanan dan pendidikan akidah dapat terlihat dari ayat-ayat yang berhubungan dengan rukun iman serta tahapan-tahapan yang ada pada pendidikan akidah dalam Islam. Menurut Ibnu Taimiyah, akidah Islam yaitu mewajibkan beriman atau percaya kepada Allah swt, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan rasul-rasul-Nya, serta kebangkitan/hidup kembali setelah mati dan beriman kepada kadar baik maupun buruk.[14]
Akidah yang merupakan pokok  keimanan memiliki 6 macam bagian yang disebut dengan rukun iman yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar.
a.      Iman kepada Allah
Iman kepada Allah berarti sikap batin yang secara murni dan kuat mempercayai atau meyakini atas keberadaan dan keesaan Allah sebagai Tuhan. Tuhan adalah sembahan yang tidak ada yang patut disembah selain Dia. Kepercayaan dan keyakinan itu benar-benar kuat tertanam di dalam hati.[15] Adapun dalilnya yang dapat digunakan, diantaranya Q.S. al-Nisa/4: 136. berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya       dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya.

b.      Iman kepada Malaikat-Malaikat
Iman kepada malaikat-malaikat berarti mempercayai bahwa Allah telah menciptakan suatu jenis makhluk yang suci dan halus yang tidak sama dengan manusia, dimana malaikat íalah makhluk ghaib yang tidak dapat diteliti dan dilengkapi secara nalar tentang zat, sifat, dan perbuatannya.[16] Adapun dasar yang digunakan diantaranya Q.S. al-Baqarah/2: 177. berbunyi:
£`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur
Akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat.


c.       Iman kepada Kitab-Kitab
Salah satu yang wajib diimani yaitu kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul Allah, bentuk keimanannya ialah mempercayai bahwa kitab-kitab tersebut adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya melalui malaikat Jibril untuk dijadikan pedoman hidup umat manusia menuju keselamatan di dunia dan di akhirat.[17] Adapun dasar yang digunakan, diantaranya Q.S. al-Nisa/4:236., berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4 `tBur öàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.

d.      Iman kepada Rasul-Rasul
Iman kepada rasul bagi kita adalah komitmen batin bahwa mereka adalah utusan Allah untuk membimbing ummatnya ke jalan yang benar. Allah telah mengutus rasul-rasul-Nya yang dilengkapi dengan wahyu ilahi untuk disampaikan kepada umat manusia. Dalam alquran ditemukan informasi bahwa tidak kurang dari 25 Rasul Allah, akan tetapi jumlah secara pasti tidak diketahui.[18] Adapun dasar yang digunakan diantaranya Q.S. al-Baqarah/2:136., berbunyi:
(#þqä9qè% $¨YtB#uä «!$$Î/ !$tBur tAÌRé& $uZøŠs9Î) !$tBur tAÌRé& #n<Î) zO¿Ïdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»oÿôœÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètƒur ÅÞ$t6óF{$#ur !$tBur uÎAré& 4ÓyqãB 4Ó|¤ŠÏãur !$tBur uÎAré& šcqŠÎ;¨Y9$# `ÏB óOÎgÎn/§ Ÿw ä-ÌhxÿçR tû÷üt/ 7tnr& óOßg÷YÏiB ß`øtwUur ¼çms9 tbqãKÎ=ó¡ãB
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.

e.       Iman kepada Hari Akhir
Beriman kepada hari akhir termasuk salah satu pokok keimanan. Tidaklah seorang itu beriman kalau ia tidak beriman kepada hari akhir. Arti dari iman kepada hari akhir ialah mempercayai atau meyakini bahwa hari kiamat itu ada dan pasti terjadi bila Allah sudah menghendaki. Pada hari itulah semua manusia mempertanggungjawabkan perbuatan jahatnya selama hidup di dunia dan menikmati semua pahala ibadahnya.[19] Adapun dasar yang digunakan diantaranya Q.S. al-Nisa/4: 136., berbunyi:
`tBur öàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/
Dan barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.

f.        Iman kepada Qadha dan Qadar
Arti keimanan kepada qadha dan qadar ialah keyakinan bahwa apapun yang diperoleh di dunia ini adalah takdir Allah yang diberikan sesuai dengan usaha manusia. Hal ini sesuai dengan istilah nasib yang berarti bagian yang diberikan kepada seseorang sesuai dengan kadar usaha yang dilakukan. [20] Adapun salah satu dasarnya Q.S. al-Syuura/42: 30., berbunyi:
!$tBur Nà6t7»|¹r& `ÏiB 7pt6ŠÅÁB $yJÎ6sù ôMt6|¡x. ö/ä3ƒÏ÷ƒr& (#qàÿ÷ètƒur `tã 9ŽÏWx.
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).

2.      Nilai Syari’ah
Syari’ah atau syariat menurut asal katanya berarti jalan menuju mata air. Dari asal katanya itu syariat Islam berarti jalan yang harus ditempuh seorang muslim. Menurut istilah, syariat berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dengan alam semesta.[21]
Sesuai dengan pengertian di atas, syariah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagai individu, warga masyarakat dan sebagai subyek alam semesta. Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syariat Islam. Esensi ibadah adalah perhambaan diri secara total kepada Allah sebagai pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan manusia di hadapan kemahakuasaan Allah.
Syariah Islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang saleh. Kesalehan individu ini mencerminkan sosok pribadi muslim yang paripurna. Islam mengakui manusia sebagai makhluk sosial karena itu syariah mengatur tata hubungan antara manusia dengan manusia dalam bentuk muamalah sehingga terwujud kesalehan sosial. Kesalehan sosial merupakan bentuk hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungan sosialnya sehingga dapat dilahirkan bentuk masyarakat yang marhamah atau masyarakat yang saling memberikan perhatian dan kepedulian antara anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya yang dilandasi oleh rasa kasih sayang. Dalam hubungan dengan alam, syariat Islam meliputi aturan dalam mewujudkan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan mendorong untuk saling memberi manfaat sehingga terwujud lingkungan alam yang makmur dan lestari.
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Demikianlah Allah menurunkan syariat Islam kepada manusia dengan lengkap sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna. Syariat ini diturunkan kepada manusia untuk dilaksanakan dalam kehidupan di dunia demi mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Syariat Islam terkandung dalam alquran dan sunah rasul karena itu ia hanya satu dan memiliki ruang lingkup yang luas, serta berlaku tetap dan abadi. Sedangkan fikih adalah pemahaman para ulama terhadap syariat Islam yang terkandung di dalam sumber hukum (alquran dan al-sunah) dan mengkodifikasikannya secara sistematis dan praktis sehingga lebih mudah dipelajari.

3.      Nilai Ibadah
Salah satu bagian dari syariah adalah ibadah. Ibadah artinya menghambakan diri kepada Allah. Ibadah merupakan tugas hidup manusia di dunia, karena itu manusia yang beribadah kepada Allah disebut 'abdullah atau hamba Allah. Hidup seorang hamba tidak memiliki alternatif lain selain taat, patuh, dan berserah diri kepada Allah. Karena itu yang menjadi inti dari ibadah adalah ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri secara total kepada Allah swt.
Ibadah merupakan konsekuensi dari keyakinan kepada Allah yang tercantum dalam kalimat syahadat, yaitu "laa ilaha illallahu" (tiada tuhan yang patut diibadahi selain Allah). Ini berarti seorang muslim hanya beribadah kepada Allah, tidak kepada yang lain.[22] Tujuan ibadah adalah membersihkan dan menyucikan jiwa dengan mengenal dan mendekatkan diri serta beribadat kepada-­Nya.
Kedudukan ibadah di dalam Islam menempati posisi yang paling utama dan menjadi titik sentral dari seluruh aktifitas mus­lim. Seluruh kegiatan muslim pada dasarnya merupakan bentuk ibadah kepada Allah, sehingga apa saja yang dilakukannya me­miliki nilai ganda, yaitu nilai material dan nilai spiritual. Nilai material adalah imbalan nyata yang diterima di dunia, sedangkan nilai spiritual adalah ibadah yang hasilnya akan diterima di akhirat. Aktifitas yang bermakna ganda inilah yang disebut amal saleh.
Ibadah terdiri dari ibadah khusus atau ibadah mahdah dan ibadah umum atau ibadah ghair mahdah. Ibadah khusus adalah bentuk ibadah langsung kepada Allah yang tata cara pelaksanaan­nya telah diatur dan ditetapkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah. Karena itu pelaksanaan ibadah ini sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh Rasulullah. Penambahan dan pengu­rangan dari contoh yang telah ditetapkan disebut bid'ah (bidah) yang menjadikan ibadah itu batal atau tidak sah. Karena itulah, para ahli menetapkan satu kaidah dalam ibadah khusus yaitu "Semua dilarang, kecuali yang diperintahkan Allah atau dicontohkan Rasulullah."[23]
Macam-macam ibadah khusus adalah salat termasuk di dalamnya bersuci (thaharah) sebagai syaratnya, puasa, zakat, dan haji. Adapun ibadah umum atau ibadah ghair mahdah adalah bentuk hubungan manusia dengan manusia atau manusia dengan alam yang memiliki makna ibadah. Syariat Islam tidak menentukan bentuk dan macam ibadah ini, karena itu apa saja kegiatan seorang muslim dapat bernilai ibadah asalkan kegiatan tersebut bukan perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya serta diniatkan karena Allah. Untuk memudahkan pemahaman, para ulama me­netapkan kaidah ibadah umum, yaitu "semua boleh dikerjakan, kecuali yang dilarang Allah atau Rasul-Nya."
Ibadah, baik umum maupun khusus merupakan konsekuensi dan implementasi dari keimanan terhadap Allah swt. yang ter­cantum dalam dua kalimat syahadat, yaitu "Asyhadu allaa ilaha illallahu, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah."
Syahadat pertama mengandung arti "tiada tuhan yang patut diibadahi selain Allah," artinya segala bentuk ibadah hanya dituju­kan kepada Allah saja. Oleh karena tugas hidup manusia di dunia adalah untuk beribadah, maka segala sesuatu yang dilakukan manusia adalah ibadah. Syahadat kedua mengandung arti penga­kuan terhadap kerasulan Muhammad yang bertugas memberikan contoh nyata kepada manusia dalam melaksanakan kehendak Allah. Dalam kaitan ibadah (khusus) berarti bentuk-bentuk dan tata cara pelaksanaan ibadah yang dikehendaki Allah telah dicontohkan oleh Rasulullah.
4.      Pendidikan Islam dan Al-Daruriyat Al-Sittah
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam  kedalam enam misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemaslahatan. Keenam misi pokok (al-Daruriyat al-Sittah) dimaksud adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan,  harta, dan lingkungan.[24]
Untuk mewujudkan dan memelihara keenam misi pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat: daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.[25] Daruriat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi keenam tujuan diatas. Hajiyat tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi manusia. Tahsiniyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah Swt.
Guna mendapatkan gambaran komprehensif tentang al-daruriyat al-sittah, berikut ini akan dijelaskan keenam misi pokok menurut kebutuhan dan skala prioritas masing-masing.
a.      Memelihara Agama
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1)      Memelihara Agama dalam peringkat daruriyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama.
2)      Memelihara Agama dalam peringkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
3)      Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, hal ini erat kaitannya dengan akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
b.      Memelihara jiwa 
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1)      Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
2)      Memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyat, seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
3)      Memelihara dalam tingkat tahsiniyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
c.        Memelihara Akal 
Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1)      Memelihara akal dalam peringkat daruriyat, seperti diharamkan meminum-minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
2)      Memelihara akal dalam peringkat hajiyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
3)      Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyat. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
d.      Memelihara keturunan
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1)      Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyat, seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
2)      Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar yang tidak jelas, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.
3)      Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyat, seperti disyariatkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
e.       Memelihara Harta 
Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1)      Memelihara harta dalam peringkat daruriyat, seperti syariat tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
2)      Memelihara harta dalam peringkat hajiyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara saham. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
3)      Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.
f.       Memelihara Lingkungan
Memelihara lingkungan, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1)      Memelihara lingkungan dalam peringkat daruriyat, seperti syariat tentang menjaga kebersihan dan larangan membuang sampah sembarangan, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi lingkungan.
2)      Memelihara lingkungan dalam peringkat hajiyat, seperti dianjurkannya pemisahan sampah menjadi sampah kering, sampah basah, dan sampah plastik. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi lingkungan, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukan pengolahan sampah.
3)      Memelihara lingkungan dalam peringkat tahsiniyat, yaitu melaksanakan program pengolahan sampah rumah tangga, dengan pembuatan pupuk kompos untuk sampah kering dan daur ulang sampah plastik menjadi barang kerajinan yang bernilai ekonomis. Hal ini dilakukan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dirinya. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi lingkungan, dan tidak pula mempersulit pengelola lingkungan.[26]
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyariatan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan enam unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Akal, keturunan, harta, dan lingkungan. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hukum islam. Dengan demikian akan menuai kemudaratan atau kesengsaraan hidup.

C.    Penutup
Nilai akidah merupakan pondasi nilai yang kekokohannya sangat fundamental dan menentukan nasib keberagamaan seorang manusia dalam mengarungi bahtera kehidupannya di dunia yang fana ini. Kecacatan akidah merupakan kefatalan yang krusial sehingga men-delete seluruh nilai yang lainnya.
Nilai syari’ah merupakan manifestasi dari kekokohan iman seseorang. Pelaksanaan nilai syari’ah secara kaffah akan membentuk peradaban manusia yang gemilang dan cemerlang sebagaimana yang diidam-idamkan seluruh insan. Hal ini diwujudkan dalam konteks ibadah mahdah maupun ghairu mahdah.
 Misi pokok (al-Daruriyat al-Sittah) yang meliputi memelihara agama, jiwa, akal, keturunan,  harta, dan lingkungan ditujukan untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ke-enam misi pokok ini berguna juga untuk menjaga keseimbangan alam semesta bukan hanya untuk mahluk yang bernama manusia.












DAFTAR PUSTAKA

A. Zainuddin dan M. Jamhari,  Al-Islam I, Akidah dan Ibadah, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Achmadi,  Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Al Banna,  Hasan Akidah Islam, Terj. M. Hasan Baidaie, Yogyakarta: PT. Alma’rif, 1992.
Al’Amin, Musthafa, Akidah Islam Menurut Ibnu Taymiyah, Bandung: PT. Alma’arif, 1982.
Al-Husna, Faidhuillah Al-Muqaddasi, Fathurrahman Liththalibi Ayat alquran, Indonesia: Maktabah Dahlan. t.th.
Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Asafri Jaya Bakri,  Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997.
Buseri, Kamrani, Nilai-Nilai Ilahiah Remaja Pelajar; Telaah Phenomenalogis dan Strategi Pendidikannya, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, 1971.
Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI,  Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta, Depag RI 2001.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Fuady, M. Noor dan Ahmad Muradi, Pendidikan Akidah Berbasis Keluarga, Banjarmasin: Antasari Press, 2009.
Imam Abi Hamid Muhammad bin al-Ghazali, Muhammad, al-Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Ritonga, Rahman, Akidah (Merakit Hubungan Manusia dengan Khalik-Nya Melalui Pendidikan Akidah Anak Usia Dini), Surabaya: Amelia, 2005.




[1]Disampaikan dalam diskusi  kelas mata kuliah Dasar, Prinsip, dan Tujuan Pendidikan Islam, pada Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2016.
                [2]Achmadi,  Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. Ke-1, h. 83.

[3]Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Ke-11, h. 133-177.
[4]Kamrani Buseri, Nilai-Nilai Ilahiah Remaja Pelajar; Telaah Phenomenalogis dan Strategi Pendidikannya, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 15.

[5] Ibid, h. 16.

                [6] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet. Ke-11, h. 133.  
[7]A. Zainuddin dan M. Jamhari,  Al-Islam I, Akidah dan Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 49.

[8]Hasan Al Banna,  Akidah Islam, Terj. M. Hasan Baidaie, (Yogyakarta: PT. Alma’rif, 1992), h. 9.

[9]Faidhuillah “al-Husna” Al-Muqaddasi, Fathurrahman Liththalibi Ayat alquran, (Indonesia: Maktabah Dahlan), Tth, h. 306.

                [10]Q.S. Al-Nisa/4:33.

                [11]Q.S. Al-Maidah/5:89.

[12]Rahman Ritonga, Akidah (Merakit Hubungan Manusia dengan Khalik-Nya Melalui Pendidikan Akidah Anak Usia Dini), (Surabaya: Amelia, 2005), h. 53.
[13]Ibid., h. 199.

[14]Musthafa Al’Amin, Akidah Islam Menurut Ibnu Taymiyah, (Bandung: PT. Alma’arif, 1982), h. 7.
[15]M. Noor Fuady dan Ahmad Muradi, Pendidikan Akidah Berbasis Keluarga, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), h. 45.

[16]Rahman Ritonga, Akidah (Merakit Hubungan Manusia dengan Khalik-Nya Melalui Pendidikan Akidah Anak Usia Dini), h. 69.
[17]Ibid, h. 80.

[18]Ibid, h. 72-73.
[19]Ibid, h. 85.
[20]Ibid, h. 92.
[21]Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI,  Pendidikan Agama Islam Pada Penrguruan Tinggi Umum, (Jakarta, Depag RI 2001), h. 89.
[22]Ibid., h. 145.
[23]Ibid.
[24]Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 20.

[25] Asafri Jaya Bakri,  Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi ( Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997), h. 71.
[26]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.128–131.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »