KEDHOBITAN PERAWI


KEDHABITAN PERAWI
A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Hadis adalah pegangan dasar hukum umat Islam yang kedua setelah Alquran. Peranan dan fungsi hadis juga sebagai penjelas terhadap ayat-ayat dalam Alquran, sehingga hadis betul-betul tidak bisa terlepas dari syarat- syarat dan ketentuan yang disepakati oleh ulama hadis. Menurut ta’rif muhadditsin bahwa suatu hadis dapat dinilai shahih apabila perawinya memenuhi lima syarat yaitu sanadnya bersambung (tidak terputus),  rawinya bersifat adil,  rawinya bersifat dhabit, tidak mengandung syaz, dan terhindar dari ‘illat.

Penghimpunan dan periwayatan hadis dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadis tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama hadis. Kriteria seorang perawi dikatakan memenuhi syarat yaitu ia harus bersifat adil dan dhabit. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedangkan dhabit berhubungan dengan kapasitas intelektual perawi. Berdasarkan uraian di atas maka dalam makalah ini akan di bahas secara ringkas tentang kedhabitan seorang perawi yang menjadi syarat diterimanya sebuah hadis.
2.      Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian dhabit?
b.      Apa saja ragam kedhabitan perawi?
c.       Bagaimana kaedah kedhabitan perawi?
d.      Apa saja hal yang meruntuhkan kedhabitan perawi?
e.       Bagaimana kedhabitan ulama hadis?
3.      Tujuan
a.       Untuk mengetahui pengertian dhabit
b.      Untuk mengetahui ragam kedhabitan perawi
c.       Dapat memahami kaedah kedhabitan perawi
d.      Untuk mengetahui hal yang meruntuhkan kedhabitan perawi
e.       Dapat mengetahui kedhabitan ulama hadis
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Dhabit
Secara bahasa dhabit berarti yang kokoh atau yang kuat.[1] Adapun  pengertian dhabit menurut istilah,  telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai format bahasa,  antara lain sebagai berikut :
a.       Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya  itu kapan saja dia menghendakinya.[2]
b.      Dhabit ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya dengan sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada  orang lain. [3]
c.       kedhabitan perawi mengandung pengertian bahwa perawi itu memiliki daya ingat hapalan yang kuat dan sempurna.[4]
d.      Munzier Suparta mendefinisikan dhabit yaitu:
تَيَقُظُ الرَّاوِى حِيْنَ تَحَمُّلِهِ وَفَهْمِهِ لِمَا سَمِعَهُ وَحَفِظَهُ لِذَالِكَ مِنْ وَقْتِ التَّحَمُّلِ اِلَى وَقْتِ الْاَدَاءِ
Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya”.[5]
Dari definisi di atas kelihatannya memiliki versi dan format bahasa yang berbeda, namun makna dan prinsip-prinsip pemahaman yang terkandung di dalamnya memiliki kesamaan. Yang pada intinya adalah kuatnya hafalan periwayat dalam meriwayatkan hadis mulai dari ia mendengarnya sampai ia menyampaikan kepada orang lain dan ia memahami betul apa yang disampaikannya itu.
2.      Ragam Kedhabitan
a.      Dhabit fi as-Shudur (Dhabit dalam dada)
Sudur (صدور) yaitu bentuk jamak dari kata Sadrun (صدر) yang berarti dada, permulaan dari tiap-tiap sesuatu. Menurut para ulama hadis yang dimaksud dhabit fi as-shudur mengandung makna mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat serta daya faham yang tinggi, sejak dari menerima sampai kepada yang menyampaikannya kepada orang dan ingatannya sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja yang dikehendaki.
b.      Dhabit fi as-Suthur /  Dhabit fi al-Kitabah (Dhabit dalam tulisan)
Seseorang yang dhabit/cermat memelihara catatan atau buku yang ia terima. Atau dengan kata lain mengungkapkan apa yang ditulisnya dengan baik dan benar. Yakni memelihara kitabnya dengan baik dari apapun yang dapat mengurangi kualitas sebuah kitab, baik sebatas sisipan atau sebagiannya.[6]
Secara sederhana Fatchur Rahman mengungkapkan bahwa kalau seorang mempunyai ingatan yang kuat sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja dikehendaki maka orang itu disebut dhabit fi as-shudur, sedangkan kalau yang disampaikannya itu berdasar pada buku catatannya maka disebut orang yang dhabit fi al-kitab.[7]
3.      Kaedah Kedhabitan Perawi
Ulama hadis pada umumnya tidak menerangkan argument yang mendasar unsur kaedah periwayat bersifat dhabit. Yang mereka kemukakan umumnya hanya berkenaan dengan pengertian dhabit sebagai salah satu unsur kaedah keshahihan sanad hadis.
Imam al-Syafi’i dan lain-lain telah meriwayatkan sabda Nabi yang berbunyi:

نَظَرَ اللهُ عَبْدًا سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَخَفِظَهَا وَوَعَاهَا وَاَدَاهَا . فَرُبَّ حَامِلٍ فَقِهَ  غَيْرَ فَقِيْهٍ , وَرُبَّ حَامِلٍ فَقِهَ اِلَى مَنْ هُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ. (رواه الشا فعي عن  ابن مسعود )
Artinya: “Mudah-mudahan Allah mengaruniakan keelokan wajah kepada hambanya yang mendengar sabdaku, kemudian menghafalnya, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang menerima pengetahuan  (hadis) hanya mampu menghafalnya dan tidak memahami benar pengetahuan itu. Dan banyak orang yang menerima pengetahuan  (hadis) itu kemudian menyampaikannya kepada orang lain yang ternyata orang lain itu lebih paham dari pada orang yang menyampaikannya”.
Dari hadis tersebut diperoleh petunjuk bahwa penerimaan riwayat hadis  yang lazim terjadi pada zaman Nabi ialah melalui cara al-sama’. Sedangkan orang-orang yang menyampaikan hadis terlebih dahulu harus hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis yang diterimanya itu kepada orang lain. Periwayat yang hafal, mampu menyampaikan dan paham dengan mendalam akan hadis yang diriwayatkannya, dengan  sendirinya lebih baik (berbobot)  dari pada periwayat yang hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis saja.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penetapan unsur  periwayat bersifat dhabit didasarkan kepada argument naqliy dalam hal ini  hadis Nabi.  Dari hadis Nabi tersebut juga dapat dipahami, bahwa ada periwayat yang hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis, tetapi dia tidak (kurang) paham akan kandungannya. Di samping itu, ada pula periwayat yang hafal, mampu menyampaikan hadis yang telah dihafalnya dan paham akan kandungan hadis yang diriwayatkannya.
Selain argument naqliy  di atas, argument yang mendasari unsur  periwayat bersifat dhabit adalah argument sejarah dan argument logika. Unsur tersebut dinyatakan memiliki argument sejarah, karena periwayatan hadis dalam sejarahnya lebih banyak berlangsung secara lisan dari pada tertulis.  Periwayatan lisan  mengharuskan periwayatnya  memliki hafalan yang baik. Periwayat yang tidak memiliki hafalan yang baik, sangat sulit dipercaya keshahihan riwayatnya.
Adapun argument logikanya  dinyatakan sebagai berikut :
a.       Sulit dipercaya seorang periwayat menyampaikan riwayat hadis  secara lisan (hafalan) sedang dia sendiri tidak hafal tentang hadis yang diriwayatkannya.
b.      Sulit dapat dipercaya seorang periwayat yang menyampaikan hadis  secara tertulis, sedang dia sendiri  tidak memahami  apa yang termaktub dalam catatan hadisnya.
Periwayat yang paham, hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis  lebih dapat dipercaya daripada periwayat yang hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis tetapi dia tidak memahami hadis yang diriwayatkannya.
Secara ringkas Badri Khaeruman merumuskan unsur-unsur kedhabitan yaitu sebagai berikut.
a.       Tidak pelupa
b.      Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya apabila ia memberikan hadis dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan apabila ia meriwayatkan hadis dengan kitabnya
c.       Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya, dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud apabila ia meriwayatkan hadis menurut maknanya saja. Rawi yang adil dan dhabit disebut tsiqah.[8]
Adapun cara penetapan kedhabitan seorang periwayat, menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai  berikut:
a.       Kedhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama
b.      Kedhabitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan  riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhabitannya.[9]
4.      Hal yang Meruntuhkan Kedhabitan
Syuhudi Ismail mengutip pendapat dari Ibn Hajar al-‘Asqalani menyebutkan ada lima hal yang menyebabkan   kecacatan rawi yang diakibatkan oleh hilangnya syarat dhabit, hal tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Fahusya galatuhu, yaitu lebih banyak salahnya daripada benarnya.
b.      Al-Gaflah ‘anil itqan, yaitu lebih menonjol lupanya daripada hafalnya (banyak/sering lupa).
c.       Al-Wahm, yaitu riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan.
d.      Mukhalafah ‘anis siqah, yaitu riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang yang tsiqah.
e.       Su’ul Hifz, yaitu jelek hafalannya walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang benar.[10]
5.      Kedhabitan Ulama Hadis
Pada bagian akhir dari makalah ini akan kami kemukakan tokoh ulama hadis yang sangat berperan dalam upaya penulisan dan pengembangan hadis dan ilmu hadis sampai saat ini. Secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, para sahabat yang mendapat predikat al-Muktsirun fi al-Riwayah, yakni para tokoh atau ulama yang banyak meriwayatkan hadis. Para ahli hadis telah mengurutkan kelompok ini mulai dari rawi yang paling banyak meriwayatkannya, yaitu Abu Hurairah (5.347 hadis), Abdullah bin Umar (2.630 hadis), Anas bin Malik (2.286 hadis), Siti ‘Aisyah (2.210 hadis), Abdullah bin Abbas (1.660 hadis), Jabir bin Abdullah (1.540 hadis), dan Abu Sa’id al-Khudri (1.170 hadis). Sementara dari kelompok kedua adalah kelompok para ulama hadis yang telah berhasil mentadwin hadis, yaitu mengumpulkan, menulis, membukukan, serta menerbitkan buku hadis dan ilmu hadis. Mereka adalah Umar bin Abdul Aziz, Muhammad bin Abu Bakr bin Hazm, Muhammad bin Syihab al-Zuhri, al-Ramahurmuzi, Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam an-Nasa’i, Imam Abu Daud, Imam at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.[11]
C.    PENUTUP/SIMPULAN
Secara bahasa dhabit berarti yang kokoh atau yang kuat sedangkan menurut istilah dhabit memiliki makna kuatnya hafalan periwayat dalam meriwayatkan hadis mulai dari ia mendengarnya sampai ia menyampaikan kepada orang lain dan ia memahami betul apa yang disampaikannya itu.
Ragam kedhabitan terbagi menjadi dua yaitu dhabit fi as-shudur (dhabit dalam dada) dan dhabit fi as-suthur /dhabit fi al-kitabah (dhabit dalam tulisan).
Unsur-unsur kedhabitan yaitu perawi tersebut tidak pelupa, hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya, dan menguasai apa yang diriwayatkannya (memahami maksudnya).
 Penetapan kedhabitan seorang periwayat dapat diteliti berdasarkan kesaksian ulama dan berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan  riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhabitannya.
Hal-hal yang menyebabkan   kecacatan rawi yang diakibatkan oleh hilangnya syarat dhabit, hal tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Fahusya galatuhu, yaitu lebih banyak salahnya daripada benarnya.
b.      Al-Gaflah ‘anil itqan, yaitu lebih menonjol lupanya daripada hafalnya (banyak/sering lupa).
c.       Al-Wahm, yaitu riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan.
d.      Mukhalafah ‘anis siqah, yaitu riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang yang tsiqah.
e.       Su’ul Hifz, yaitu jelek hafalannya walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang benar







DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 2007

Khaeruman, Badri. Ulum al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2010

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah. 2009

Rahman, Fatchur. Ikhtishar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT. Alma’arif. 1974

Sahrani, Sahrani. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2008



[1]Sohari Sahrani, Ulumul Hadis. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 109
[2]Ibid. h. 109
[3]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2007), h. 66
[4]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 152
[5]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 206
[6]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 152
[7]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis, (Bandung: PT. Alma’arif, 1974), h. 121
[8]Badri Khaeruman, Ulum al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 121
[9]Sohari Sahrani, Ulumul Hadis. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 110
[10]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2007), h. 67-68
[11]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 209-210

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »