BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Allah Swt menciptakan alam semesta dan menentukan fungsi-fungsi dari setiap elemen alam ini. Matahari punya
fungsi, bumi punya fungsi, udara punya fungsi, begitulah seterusnya, bintang-bintang,
awan, api, air, tumbuh-tumbuhan dan seterusnya hingga makhluk yang paling kecil
masing-masing memiliki fungsi dalam kehidupan.
Bagi seorang atheis, manusia tidak lebih dari fenomena alam seperti
makhluk yang lain. Oleh karena itu, manusia menurut mereka hadir di muka bumi
secara alamiah dan akan hilang secara alamiah. Apa yang dialami manusia,
seperti peperangan dan bencana alam yang menyebabkan banyak orang mati, adalah
tak lebih sebagai peristiwa alam yang tidak perlu diambil pelajaran atau
dihubungkan dengan kejahatan dan dosa, karena dibalik kehidupan ini tidak ada
apa-apa, tidak ada Tuhan yang mengatur, tidak ada surga atau neraka, seluruh
kehidupan adalah peristiwa alam. Bagi orang atheis fungsi manusia tak berbeda
dengan fungsi hewan atau tumbuh-tumbuhan, yaitu sebagai bagian dari alam.
Bagi orang yang menganut faham sekuler, manusia adalah pemilik alam yang
boleh menggunakannya sesuai dengan keperluan. Manusia berhak mengatur tata
kehidupan di dunia ini sesuai dengan apa yang dipandang perlu, dipandang baik
dan masuk akal karena manusia memiliki akal yang bisa mengatur diri sendiri dan
memutuskan apa yang dipandang perlu. Mungkin dunia dan manusia diciptakan oleh
Tuhan, tetapi kehidupan dunia adalah urusan manusia, yang tidak perlu dicampuri
oleh agama. Agama adalah urusan individu setiap orang yang tidak perlu
dicampuri oleh orang lain apa lagi oleh negara.
Agama Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu
sebagai hamba Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka
bumi. Sebagai hamba Allah, manusia adalah kecil dan tidakk memiliki kekuasaan.
Oleh karena itu, tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri
kepada-Nya. Akan tetapi sebagai khalifatullah, manusia diberi fungsi sangat
besar, karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi
memiliki tanggung jawab dan otoritas yang sangat besar.
Secara normatif,
Islam telah memberikan landasan kuat
bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama,
Islam menekankan bahwa
pendidikan merupakan
kewajiban agama dimana
proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang
turunnya wahyu pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar. Kedua,
seluruh rangkaian pelaksanaan
pendidikan adalah ibadah kepada
Allah
SWT.
Sebagai sebuah ibadah, maka
pendidikan merupakan kewajiban
individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana
maupun ilmuwan. Keempat, Islam memberikan landasan
bahwa pendidikan merupakan
aktivitas sepanjang hayat (long life education).
Kelima,
kontruksi pendidikan
menurut Islam bersifat
dialogis, inovatif dan
terbuka dalam menerima ilmu
pengetahuan baik dari Timur maupun Barat.[1]
Pendidikan
Islam harus memperhatikan konsep Abdullah dan khalifatullah ini sebagai sesuatu
yang simultan, sehingga tidak boleh diabaikan dan diberi prioritas. Oleh karena
itu, penulis mencoba
membahas Dasar-dasar Normatif Pendidikan Islam: Nilai-nilai manusia sebagai
Abdullah, Khalifatullah; Norma dan nilai manusia sebagai pendidik, dan
anak didik .
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manusia Sebagai
Abdullah
Manusia
diciptakan dengan dua fungsi, yang keduanya harus dapat terlaksana dengan baik,
tanpa ada salah satu yang terlupakan. Fungsi pertama adalah sebagai ‘Abdullah
(sebagai hamba Allah), dan sebagai khalifatullah. Oleh karena itu, sebagai hamba Allah, maka ia harus selalu patuh
dan taat atas segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya maka manusia
harus menuruti kemauan Allah, yang tidak boleh membangkang kepada-Nya. Dalam
hal ini, manusia mempunyai dua tugas yaitu: pertama
ia harus beribadah kepada Allah baik dalam pengertian sempit (shalat,
puasa, haji, dsb.) maupun luas (melaksanakan semua aktifitas baik dalam
hubungan secara vertikal kepada Allah SWT maupun bermuamalah dengan sesama
manusia untuk memperoleh keridhaan Allah sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Allah SWT dan Hadist.
Sebagai
seorang hamba, manusia harus melaksanakan tugas penghambaan diri kepada Allah
SWT, dalam keadaan bagaimanapun dan di manapun. Ia harus senantiasa beribadah
kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan hanya mengharapkan rida Allah.
Ia harus selalu menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya, sebagai wujud syukur
kepada-Nya atas nikmat yang telah diberikan.
Di
dalam Al-Qur’an S. Ad-Dzariat ayat 56 disebutkan “Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan untuk menyembah Ku”.[2]
Ayat ini menjelaskan mengenai tujuan utama diciptakannya jin dan manusia, yaitu
untuk menyembah dan beribadah kepada Allah SWT sebagai Khalik. Tujuan
tersebut juga mengandung arti bahwa manusia harus senantiasa taat dan patuh
kepada segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Ini merupakan
tugas manusia sebagai seorang hamba.
Tanggung jawab Abdullah terhadap dirinya
adalah memelihara iman yang dimiliki dan bersifat fluktuatif ( naik-turun ),
yang dalam istilah hadist Nabi Saw dikatakan yazidu wayanqusu (terkadang
bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah).
Tanggung
jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggung jawab
terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dalam alquran dinyatakan dengan quu
anfusakum waahliikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman
dari neraka).
Allah
dengan ajaranNya Al-Quran menurut sunah rasul, memerintahkan hambaNya atau Abdullah
untuk berlaku adil dan ihsan. Oleh
karena itu, tanggung jawab hamba Allah adalah menegakkan keadilan, baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman dengan ajaran
Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kemungkaran yang
mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, Abdullah harus senantiasa
melaksanakan shalat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran
(Fakhsyaa’i wal munkar). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari umat yang senantiasa
berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan
mencegah kemungkaran (Al-Imran : 2: 103). Demikianlah tanggung jawab hamba
Allah yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut Sunnah
Rasul.
Islam memang menghendaki keseimbangan kehidupan dunia
dan ukhrawi, tidak berat sebelah dengan mengutamakan salah satunya saja. Hal
ini digambarkan oleh Firman Allah pada surah al-Qashash: 77, yang menjelaskan
bahwa kita diperintahkan mencari kebahagiaan di akhirat dengan memanfaatkan apa
yang telah dianugerahkan kepada kita berupa kekayaan duniawi, akan tetapi
jangan sampai lupa sama sekali terhadap kehidupan dunia karena kita tinggal dan
hidup di dunia ini.[3]
B. Manusia Sebagai Khalifatullah
Kata khalifah diambil dari kata kerja khalafa
yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
khalifah adalah person yang menggantikan person lain. Ini
menjelaskan bagaimana kepemimpinan dalam rumusan Islam diberi titel kahlifah.
Abu Bakar r.a telah menggantikan Nabi saw setelah beliau meninggal dunia, maka
Abu Bakar telah disebut sebagai Khalifah Rasulullah. Dengan mengambil contoh
ini maka arti kedua, “melanjutkan” tidak dipakai dan istilah khalifah memberi
pengertian “pengganti” kedudukan Rasulullah saw.[4]
Fungsi
yang kedua adalah sebagai Khalifah fi al-ard. Sedangkan sebagai
khalifah, dia harus berusaha untuk mengolah dan membudidayakan bumi ini untuk
kesejahteraan umat dan memelihara serta menjaga kelestariannya.
Allah SWT
berfirman dalam surah al-an’am:165 yang berbunyi:
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u ßìÎ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Artinya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian
(yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Untuk
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi al-ard, maka ia harus memiliki
pengetahuan berkaitan dengan tugasnya itu. Untuk itulah manusia diciptakan
dilengkapi dengan akal dan kemampuan untuk berfikir, dengan demikian ia dapat
menjadi wakil Allah di muka bumi, dengan bekal akal yang dapat di gunakan untuk
mengetahui bentuk dan sifat berbagai ciptaan Allah di muka bumi. Sebagai
khalifah di muka bumi berarti sebagai wakil Allah di bumi. Allah yang telah
menciptakan bumi dan segala isinya, maka sebagai wakil Allah tugas manuisalah
untuk menjaganya.
Sebagai
khalifah manusia diperintahkan untuk menjaga kelestarian dan bukan melakukan
kerusakan di muka bumi. Pengangkatan manusia sebagai khalifah ini difirmankan
Allah dalam al-Qur’an surah al-Baqarah
ayat 30:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:”
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka
berkata:” mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engaku dan mensucikan Engkau?” Tuhaan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.[5]
Khalifah
dalam ayat di atas dapat di artikan sebagai penguasa, artinya Allah menjadikan
manusia sebagai penguasa di bumi. Penguasa dalam hal ini adalah mereka yang
berhak memanfaatkan dan membuat tatanan kehidupan di muka bumi dan bertanggung
jawab atas kesejahteraan dan kelestarian alam semesta.
Manusia
diciptakan sebagai khalifah adalah sebagai wakil Allah di muka bumi, Allah yang
telah menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya dan manusia sebagai
khalifah bertugas untuk melestarikan dan menjaganya dari kerusakan. Manusia
berhak untuk menggali manfaat yang terkandung di alam ini dan menggunakannya
untuk kesejahteraan penghuni alam semesta ini.
Sebagai
seorang khalifah manusia bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan dan
kemaslahatan makhluk-makhluk Allah yang lain di bumi, baik yang bernyawa maupun
tidak. Dengan demikian manusia memerlukan ilmu pengetahuan dan pemahaman
mengenai karakteristik alam yang menjadi tanggung jawabnya tersebut.
Untuk
dapat menjalankan tugas kekhalifahannya dengan baik, manusia memerlukan ilmu
pengetahuan alam untuk memanfaatkan alam dan menjaga kelestarianya. Fisika
merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang sangat penting untuk
dipelajari, karena mengkaji gejala-gejala alam dan karakteristik benda-benda
alam.
Penguasaan
terhadap Fisika menjadi sangat penting ketika manusia akan menjalankan tugas
kekhalifahannya di muka bumi. Karena sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa
manusialah yang bertanggung jawab atas kemaslahatan dan kelestarian alam ini.
Untuk itu manusia harus benar-benar mamahami karakteristik alam yang menjadi
tanggung jawabnya itu.
Ilmu
pengetahuan atau sains dan teknologi yang membantu penemuan, perkembangan dan
pemeliharaan baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam,[6]
merupakan alat bagi manusia untuk melaksanakan tugas kekhalifahannya.
Pengembangan
iptek adalah satu contoh dari kesempurnaan makhluk Tuhan yang bernama manusia.[7]
Dengan menggunakan akal pikiran yang telah dianugerahkan kepadanya, menyebabkan
manusia mampu untuk mengembangkan iptek. Dengan demikian manusia dapat menjalankan
fungsi kekhalifahannya di muka bumi secara produktif dan matang.
Pendidikan Islam harus memperhatikan
konsep abdullah dan khalifatullah ini sebagai sesuatu yang simultan,
sehingga tidak boleh diabaikan atau
diberi perioritas yang satu mlebihi yang lain, atau berat sebelah bahkan hanya
terfokus kepada salah satu saja.[8]
PERANAN MANUSIA SEBAGAI
KHALIFAH
Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua
peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat.
Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari
upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).[9]
1. Memakmurkan Bumi
Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia
harus mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat
manusia. Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil
dan merata, dengan tetap menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi
selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.
2. Memelihara Bumi
Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak
manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan
jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena
sumber daya manusia yang rusak akan sangata potensial merusak alam. Oleh karena
itu, hal semacam itu perlu dihindari.
Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Penciptaan manusia
mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa
(pengatur) bumi. Maksudnya, manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan
kehidupan di bumi sesuai dengan petunjukNya. Petunjuk yang dimaksud adalah
agama (Islam).
Mengapa Allah memerintahkan umat nabi Muhammad SAW untuk memelihara bumi
dari kerusakan?, karena sesungguhnya manusia lebih banyak yang membangkang
dibanding yang benar-benar berbuat shaleh sehingga manusia akan cenderung untuk
berbuat kerusakan, hal ini sudah terjadi pada masa nabi – nabi sebelum nabi
Muhammad SAW dimana umat para nabi tersebut lebih senang berbuat kerusakan dari
pada berbuat kebaikan, misalnya saja kaum bani Israil, seperti yang Allah sebutkan
dalam firmannya dalam surat Al Isra ayat 4 yang berbunyi :
!$oYøÒs%ur 4n<Î) ûÓÍ_t/ @ÏäÂuó Î) Îû É=»tGÅ3ø9$# ¨bßÅ¡øÿçGs9 Îû ÇÚöF{$# Èû÷üs?§tB £`è=÷ètGs9ur #vqè=ãæ #ZÎ62 ÇÍÈ
Artinya : dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu:
“Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti
kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar“. (QS Al Isra : 4)
Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan
menjalankan fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak melakukan
pengrusakan terhadap Alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti firmannya
dalam surat Al Qashash ayat 77 yang berbunyi:
Æ÷tGö/$#ur
!$yJÏù 9t?#uä
ª!$#
u#¤$!$#
notÅzFy$#
( wur
[Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB
$u÷R9$#
( `Å¡ômr&ur !$yJ2
z`|¡ômr&
ª!$#
øs9Î)
( wur
Æ÷ö7s?
y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$#
( ¨bÎ)
©!$#
w
=Ïtä
tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinya: dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS AL Qashash : 77)
C. Manusia Sebagai Pendidik dan Anak Didik
Manusia pada hakikatnya adalah anak
didik sekaligus simultan sebagai pendidik. Kita tidak boleh berhenti sebagai
anak didik atau pendidik, suatu saat
kita sebagai anak didik dan pada saat lainnya kita harus menjadi pendidik demikian sebaliknya. Apabila kita perhatikan sabda Nabi “ballighu ‘anni walau aayatan”, maksudnya kalaupun kita memiliki ilmu hanya satu ayat wajib menyampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu M. Natsir menegaskan bahwa kewajiban berdakwah adalah wajib a’in bagi siapapun.[10]
kita sebagai anak didik dan pada saat lainnya kita harus menjadi pendidik demikian sebaliknya. Apabila kita perhatikan sabda Nabi “ballighu ‘anni walau aayatan”, maksudnya kalaupun kita memiliki ilmu hanya satu ayat wajib menyampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu M. Natsir menegaskan bahwa kewajiban berdakwah adalah wajib a’in bagi siapapun.[10]
Abdurrahman an Nahlawi menggambarkan
sifat pendidik, antara lain:
1.
Arah, jalan dan
pikirannya semata-mata sebagai pendidik
2.
Ikhlas
3.
Sabar
4.
Benar atau
jujur terhadap apa yang disampaikan
5.
Selalu menambah
pengetahuan
6.
Terampil dalam
berbagai metode mengajar
7.
Mampu untuk
konsisten dan disiplin
8.
Mengajar sesuai
dengan perkembangan jiwa anak
9.
Memperhatikan
terhadap berbagai pengaruh terhadap suatu generasi
10. Adil. [11]
Anak
didik juga dituntut untuk mengarahkan dirinya untuk belajar, ikhlas, sabar,
jujur, tekun untuk terus menambah ilmu, konsisten disiplin, dan
adil. Selain
niat yang benar, seorang pendidik haruslah profesional
yakni terkait dengan ajaran tentang profesionalisme.[12]
Profesi
adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut
keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dediksi
tinggi. Keahlian diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan
untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan.
D. Syarat
Menjadi Pendidik
Agar
pendidik dapat melaksanakan tugas dengan baik, maka ia membutuhkan beberapa
syarat yang mesti dimiliki, diantaranya :
a.
Mempunyai
ijazah formal
b.
Sehat jasmani
dan rohani
c.
Berakhlak yang
baik
d.
Memiliki
pribadi mukmin, muslim, dan muhsin
e.
Taat untuk
menjalankan agama
f.
Memiliki jiwa pendidik
dan rasa kasih sayang kepada anak didiknya dan ikhlas jiwanya
g.
Mengetahui
dasar-dasar ilmu pengetahuan tentang keguruan terutama didaktik dan metodik
h.
Menguasai ilmu
pengetahuan agama
i.
Tidak
mempunyai cacat rohaniah dan jasmaniah (Abu Ahmadi,
1986: 49 )
Sedangkan
dalam UUSPN Nomor 2 Tahun 1989 disebutkan di dalam Pasal 28 ayat (2), bahwa:
“Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga didik yang bersangkutan
harus beriman dan bertaqwa.
E. Tugas Pendidik dalam Perspektif Islam
Dalam
paradigma Jawa, pendidikan diidentikan dengan guru (gu dan ru) yang berarti
“digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki
seperangkat ilmu ynag memadai, yang kerenanya ia memiliki wawasan dan pandangan
yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru
memiliki kepribadiaan yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut
dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya. Pengertian ini
diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekadar mentransformasikan ilmu, tapi juga
bagaimana ia mampu mengiternalisasikan ilmunya pada peserta didiknya.
Dalam
perkembangan berikutnya, paradigma pendidik tidak hanya bertugas pengajar, yang
mendoktrin peserta didiknya untuk mengusai seperangkat pengetahuan dan skill
tertentu. Pendidik bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses
belajar mengajar. Keaktifan sangat tergantung pada peserta didiknya,
sekalipun keaktifan itu akibat dari motivasi dan pemberian fasilitas dari
pendidiknya. Seorang pendidik juga harus mampu memainkan peranan dan fungsinya
dalam menjalankan tugas keguruannya. Hal ini menghindari adanya benturan fungsi
dan perannya, sehingga pendidik bisa menempatkan kepentingan sebagai individu,
anggota masyarakat, warga Negara, dan pendidik sendiri. Jadi, antara tugas
keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya. Oleh karena
itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidkan dapat disimpulkan menjadi tiga
bagian, yaitu:[13]
1.
Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran
dan melaksanakam program ynag telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan
penilaian setelah program dilakukan (evaluasi).
2.
Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada
tingkatan kedewasaan dan berkepribadiaan kamil (sempurna)seiring dengan tujuan
Allah SWT yang menciptakannya.
3.
Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan diri sendiri,
peserta didik dan masyarakat yang terkait , terhadap berbagai masalah yang
menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrol, dan
partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.
Dalam
tugas itu, seorang pendidik dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip
keguruan. Prinsip keguruan itu dapat berupa : (1) Kesediaan untuk mengajar seperti
memperhatikan kemampuan, pertumbuhan, dan perbedaan peserta didik. (2)
menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik. (3) mengatur proses
belajar yang baik. (4) memperhatikan perubahan-perubahan dan kecenderungan yang
mempengaruhi proses belajar peserta didiknya.
F. Nilai
Normatif bagi Pendidik dan Anak Didik
Nilai
normatif sebagai pendidik, antara lain :
1.
Ikhlas dan
sifat utama lainnya terutama adil, jujur, sabar, disiplin dn kerja keras.
2.
Profesionalisme
dalam atau expert atau memiliki kelebihan-kelebihan dan bersedia memberikan
kelebihan-kelebihan tersebut kepada anak didik.
3.
Agamawan
4.
Sadar sebagai
pendidik dan anak didik yang merupakan sifat simultan.
5.
Sayang terhadap
anak didik.
6.
Teladan dengan ibda’
binafsika dalam hal-hal kebajikan, kapan dan dimanapun sehingga terjadi
konteks positif.
7.
Selalu
menghidupkan amar ma’ruf nahi munkar.[14]
Nilai normatif bagi anak didik,
antara lain:
1.
Ikhlas dan
sifat utama lainnya terutama adil, jujur, sabar, disiplin dan kerja keras.
2.
Menyadari
kekurangan-kekurangan yang harus terus dilengkapi atau diperbaiki dengan
menuntut kepada mereka yang memiliki kelebihan.
3.
Agamawan
4.
Sadar sebagai
anak didik dan pendidik yang merupakan sikap simultan.
5.
Hormat kepada
pendidik.
6.
Selalu
menghidupkan amar ma’ruf nahi munkar.[15]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat
dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Dasar
Normatif Pendidikan Islam adalah merupakan dasar atau landasan sebagai tempat
berpijak yang bersifat keharusan atau tidak boleh ditinggalkan dalam rangka
proses aktivitas pendidikan Islam.
2.
Nilai-nilai
manusia sebagai Abdullah adalah melakukan ibadah kepada Allah baik
dilakukan secara khusus maupun secara umum, sedangkan nilai-nilai manusia sebagai khalifatullah adalah
seseorang mampu memakmurkan bumi dan segala isinya serta memberi manfaat bagi
umat manusia disertai amar ma’ruf nahi munkar sehingga menjadi ‘Rahmatan
Lil’alamin’.
3.
Dalam
pandangan Islam seluruh kita umat manusia adalah pemimpin. Sebagai pemimpin
tentu dia harus sadar bahwa dia juga sebagai seorang pendidik, karena
pemimpin dalam Islam harus menjadi teladan. Nabi kita Muhammad SAW., beliau
seorang pemimpin besar sekaligus sebagai pendidik dan menjadi teladan bagi
seluruh umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Karim, Pendidikan Agama Islam,
Banjarmasin: Departemen Kesehatan RI Politeknek Kesehatan Jurusan Gizi, 2010
Abdul Majid (dkk), Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunah Tentang Iptek, Jakarta, Gema Insani
Press, 1997
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan
Berdasarkan Al-quran, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007
Kamrani Buseri, Dasar, Asas, dan
Prinsip Pendidikan Islam, Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2014
M, Daud Ibrahim, Teknologi Emansipasi dan transendensi, Bandung, Mizan, 1994
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2006
Roestiyah NK, Masalah-masalah
Ilmu Keguruan, Jakarta : Bina Aksara, 1982
[1] https://
matakedip1315. wordpress.com/2013/06/04/al-quran- dan-al-hadits- sebagai-
dasar-fundamental-pendidikan-islam/
[3] Abdullah Karim, Pendidikan Agama Islam,
(Banjarmasin: Departemen Kesehatan RI Politeknek Kesehatan Jurusan Gizi, 2010),
h. 56.
[4] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan
Berdasarkan Al-quran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), h. 46
[5]
Ibid., hal.11
[6] Abdul Majid (dkk), Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunah Tentang
Iptek,(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal.79
[8] Kamrani Busari, Dasar,
Asas, dan Prinsip Pendidikan Islam,(Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2014), hal
147-148
[9]
Manusia sebagai khalifah, (https://sitinuralfiah.wordpress.com/bahan-ajar-2/manusia-sebagai-khalifah/) akses tanggal 6 April
2016, jam 15.00
[10] Ibid. H. 150
[11] An-Nahwawi, h.
155-159
[12] Buseri, Kamrani,
Op. Cit., h. 151
[13] Roestiyah NK, Masalah-masalah
Ilmu Keguruan, (Jakarta : Bina Aksara, 1982), h.86
[14] Lihat Buseri,
Kamrani, h. 161